Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 20/3 (Antara) – Kondisi air Sungai Martapura, baik di wilayah Kabupaten Banjar, maupun di wilayah Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan yang terlihat bersih tidak berarti bisa langsung dikonsumsi tanpa direbus terlebih sebab bisa-bisa terkena diare.
Masalahnya kandungan bakteri e-coli di sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus dan bermuara di Sungai Barito Kota Banjarmasin tersebut begitu tinggi setelah tercemar berat kotoran manusia (tinja).
Hal itu terjadi setelah sekian lamanya kebiasaan (budaya) masyarakat membuang air besar ke sungai, lalu bermunculanlah ratusan bahkan ribuan buah jamban terapung di sisi kanan dan kiri sungai yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat setempat itu.
Masyarakat sudah terbiasa masuk jamban lalu membuang air besar dengan mudah jatuh ke sungai, dengan mudah pula memanfaatkan air sungai untuk membersihkan badan setelah buang hajat tersebut.
“Lihat saja di tengah kota Martapura, hingga ke Desa Lok Baintan terdapat deretan jamban terapung di atas air, jumlahnya sudah mencapai 2800 buah,” kata Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Banjar, Boyke W Triestianto ST MT ketika berkunjung ke kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, Sabtu (16/3).
Boyke mendampingi Bupati Banjar, Sultan KhairulSaleh bersama puluhan wartawan yang tergabung dalam komunitas “pena hijau” untuk melakukan penanaman bibit penghijauan di lokasi hutan lindung tersebut.
Menurut Boyke, dengan jumlah jamban terapung sebanyak itu bila satu jamban setiap harinya dipakai untuk buang air besar antara 10 hingga 15 penduduk maka kawasan tersebut setiap harinya tercemar antara 10 hingga 14 ton tinja manusia.
Itu hanya kawasan tersebut padahal jamban terapung juga terlihat dimana-mana di sungai Martapura itu, maka sudah bisa dibayangkan berapa besar pencemaran tinja terhadap lingkungan di kawasan itu, wajar bila kawasan tersebut begitu tinggi kandungan baktari e-koli.
Berdasarkan catatan, Escherichia coli, atau biasa disingkat E. coli, adalah salah satu jenis spesies utama bakteri gram negatif. Pada umumnya, bakteri yang ditemukan oleh Theodor Escherich ini dapat ditemukan dalam usus besar manusia.
Secara terpisah, Kepala Perusahaan Daerah (PD) Pengolahan Air Limbal (PAL) Banjarmasin, Muh Muhidin membenarkan kandungan baktari coli di sungai Martapura,khususnya di Banjarmasin sudah tercatat 16000 PPM, sementara batas baku mutu hanya 30 PPM, begitu tingginya pencemaran tinja di wilayah ini.
Hal itu karena kebiasaan masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Martapura membuang seenaknya tinja ke sungai, sehingga air yang mengalir ke Banjarmasin ini tercemar bakteri yang berasal tinja tersebut.
Kasus diakibatkan pencemaran e-coli, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalsel, menunjukan kasus diare terjadi pada 7,71/1000 penduduk dengan angka kematian 0,27/100.000 penduduk.
Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemerintah Provinsi Kalsel, Ninuk Murtini, pernah pula mengatakan mengatakan dari hasil pemeriksanaan kondisi air sungai beberapa titik hasilnya sebagian besar air sungai tercemar dengan rata-rata kandungannya di atas ambang batas.
Bukan hanya e-coli, pencemaran sungai tersebut antara lain, untuk kandungan mangan atau Mn seharusnya hanya 0,1 miligram tapi berdasarkan hasil penelitian di Sungai Barito mencapai 0,3135 miligram atau jauh di atas ambang batas.
Titik terparah berada di Sungai Barito di sekitar Pasar Gampa Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, selain itu di Hilir Pulau Kaget mencapai 0,2097 miligram dan Hulu Kuripan atau di sekitar kantor Bupati Barito Kuala mencapai 0.2029 miligram.
Menurut Ninuk pemeriksanaan tidak hanya dilakukan di Sungai Barito tetapi di sungai lainnya dengan total pengambilan sampel sebanyak 29 titik yaitu enam titik di sungai Barito, enam titik sungai Martapura dan tujuh titik di Sungai Negara.
Dengan kondisi tercemar itu,S maka bisa jadi salah satu pemicu timbulnya penyakit lainnya seperti autis, gangguan saraf, dan ginjal.
Seribu Jamban
Jamban komunal
Melihat tingkat pencemaran tinja yang sudah mengancam kesehatan warga tersebut, telah melahirkan keinginan banyak pihak untuk mencarikan solusinya antara lain melalui program pembangunan jamban komunal.
Jamban komunal adalah jamban umum yang bisa digunakan secara bersama oleh warga membuang air besar, tetapi letaknya di daratan bukan di sungai, di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan sedang sampai tinggi 300-500 orang per hektare.
Menurut, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kabupaten Banjar Boyke pihaknya sudah menganggar sejumlah dana untuk pembuatan jamban sekaligus MCK komunal di beberapa tempat.
Selain itu pihaknya juga memperoleh dana dari sumbangan pemerintah Australia sebesar Rp1,2 miliar dalam upaya penanggulangan jamban tersebut.
Pemerintah Provinsi Kalsel sendiri segera pula membangun seribu jamban di daratan untuk mengatasi masalah tingginya pencemaran bakteri e-coli yang berasal dari tinja manusia.
Wakil Gubernur Kalsel, Rudy Resnawan di Banjarmasin menyatakan selama ini pihaknya telah mengkampanyekan agar masyarakat tidak membuang air besar di sungai, tetapi kampanye tersebut belum bisa maksimal karena tidak dibarengi dengan aksi pembangunan jamban rumah tangga di daratan.
“Selama ini jamban keluarga dibangun dengan biaya masyarakat sendiri, sehingga banyak warga yang enggan untuk melaksanakan program tersebut,” katanya.
Banyaknya masyarakat yang memilih membangun jamban di atas sungai dengan biaya lebih murah tersebut, membuat pencemaran di sungai masih sulit diatasi.
Dengan demikian, tambah Wagub, pada 2013 ini Pemprov Kalsel mengalokasikan dana dari APBD sebesar Rp1,5 miliar untuk pembangunan jamban keluarga dengan harapan masyarakat tidak lagi membuang air besar di sungai.
Selain itu, jamban keluarga tersebut juga akan dilengkapi dengan pompa air, sehingga tidak ada alasan lagi bagi masyarakat tidak ada air sehingga jamban tidak bisa digunakan.
“Tidak jarang begitu dibangunkan jamban masyarakat tetap memilih ke sungai dengan alasan tidak ada air, saya harap alasan tersebut sudah tidak ada lagi,” katanya.
Program pembangunan seribu jamban ini, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat melalui minimalisasi pencemaran sungai dari bakteri yang disebabkan oleh sampah rumah tangga dan bakteri e-coli.
Sebagaimana diketahui, sungai merupakan tumpuan hidup masyarakat Banjarmasin sejak dulu hingga sekarang, hampir sebagian besar kegiatan warga Banjarmasin tidak terlepas dari sungai.
Kegiatan tersebut mulai dari mencuci, memasak, mandi, transportasi hingga kegiatan ekonomi dilakukan di sungai.
Dengan adanya program seribu jamban komunal ditambah berbagai kampanye lingkungan dan kebersihan sungai diharapkan budaya jamban yang melahirkan pencemaran bakteri e-coli di Sungai Martapura dan Barito Kalsel bisa teratasi.
