Quantcast
Channel: Warta Putra Balangan
Viewing all 193 articles
Browse latest View live

WARGA LOKSADO NIKMATI “MANISNYA” HARGA KAYU MANIS

$
0
0

kayumanis Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, Rombongan ekspedisi susur sungai Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) dan Balai Wilayah Sungai (BWS) II menyususri sungai hulu Amandit bagian dari anak-anak Sunga Barito ke kewasan Loksadi, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, bagian dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, pekan lalu.
Ekspedisi bertujuan melihat kondisi sungai dan hutan tersebut menysup ke pemukiman Suku Dayak Loksado dan tadinya membayangkan warga setempat masih tinggal di balai-balai (rumah adat yang dihuni puluhan kepala keluarga) dengan bangunan kayu, bambu, dan atap rumbia.
Ternyata perkiraan tersebut berbalik, karena rumah warga pedalaman itu sudah banyak yang berton, lantai berkeramik, di depan rumah dihiasi dengan antena prabola, dan kemana-mana sudah menggunakan sepeda motor, lantaran jalan ke arah sana walau kecil tapi sudah bisa dilalui pakai kendaraan roda dua tersebut.
Untuk menyusup ke pemukiman suku yang tadinya nomadin itu, rombongan harus melakukan perjalanan jauh, dari Banjarmasin ke Kandangan ibukota kabupaten, terus ke Loksado, baru kemudian pakai ojek kendaraan roda dua dengan tarif rp70 ribu per orang ke Desa Haratai.
Setibanyak di lokasi rombongan termasuk penulis melakukan pemantauan dan sekaligus melakukan pengukuran kualitas air di pe atas pegunungan tersebut, dan membawa sampel air tersebut yang kemudian untuk diteliti secara seksama.
Namun oleh petugas dari BWS II yang melakukan pengukuran awal, air di atas pegunungan itu sangat layak untuk diminum lantaran kadar keasamannya yang normal, jersih, dan sama sama sekali tak berbau.
Saat berada di kawasan tersebut penulis sempat berbincang dengan warga setempat yang pada awalnya dikira mereka hanya bekerja berladang berpindah.
Ternyata dari beberapa penuturan warga mereka sudah banyak yang meninggalkan ladang berpindah, dan kini usaha menetap dengan mengembangkan pohon kayu manis. Dan pohon tersebut mereka tanam setelah mengambil bibit yang ada dalam hutan itu sendiri.
Atas bimbingan petugas pertanian dan beberapa warga yang sempat studi banding ke Sumatera Barat, kini usaha mereka sudah membudaya sektor perkebunan kayu manis tersebut.
Setelah terjadi fluktuasi harga belakangan Warga suku Dayak Pedalaman Kalimantan Selatan, Pegunungan Meratus itu kini bisa tersenyum menikmati membaiknya harga kayu manis yang dibudidayakan mereka.
Bayah seorang ibu yang berada di beranda rumahnya sambil membersihkan kulit manis menuturkan bahwa sekarang masyarakat setempat lagi bergairah berproduksi kulit kayu manis lantaran harganya yang sekarang cukup tinggi.
“Sekarang harga kayu manis kering Rp30 ribu per kilogram, dibandingkan dengan menyadap karet hanya rp5 ribu per kilogram, jelas lebih menguntungkan mengelola kayu manis,”katanya.
Berdasarkan keterangan, warga Dayak Pedalaman Loksado ini sejak dulu dikenal sebagai peladang berpindah, namun kemudian mereka lebih memahami untuk hidup berkebun kemudian menanam karet, lalu menanam keminting (kemiri), terakhir membudidayakan kayu manis.
Selain usaha tersebut banyak juga warga setempat yang beternak babi, atau mengolah tanaman bambu menjadi barang berharga.
Menurut mereka usaha kayu manis lebih menjanjikan lantaran pemasarannya tidak sulit, setelah banyaknya pembeli berdatangan ke kampung mereka yang berjarak sekitar 30 km dari ibukota kabupaten HSS.
Namun harga kayu manis sering pula berflutuasi bahkan ada yang hanya rp8 ribu per kilogram, tetapi sekarang sudah mencapai rp30 ribu per kilogram, dengan demikian jika usaha kayu manis sehari mampu mengupas kulit kayu lalu mengeringkan sampai lima kilogram saja maka sudah mengantongi uang rp150 ribu kilogram.
Tetapi bagi pemilik lahan luas dengan kayu manis yang sudah banyak dan kayunya besar-besar, itu sehari bisa mencapai puluhan kilogram, kata Bayah.
Hasil pemantauan di lokasi tersebut memang terlihat dimana-mana warga banyak yang bekerja mengupas kalit kayu manis dari batangnya, sebagian lagi ibu-ibu kebanyakan membersihkan kulit tipis bagian luar dari kulit kayu manis itu, kemudian dijemur di halaman rumah.
Dari pemantauan banyak pula kayu manis yang sudah kering diikat-ikat per satu golongan, konon itu sudah siap di jual, dan para pembelinya datang dari kota kemudian mengangkutnya ke berbagai termasuk ke Pulau Jawa.

Kualitas Kedua
Berdasarkan catatan yang pernah di rilis Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup (BP2LHK Banjarbaru),_Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah pengembang tanaman kayu manis jenis C. Burmanii dengan kualitas unggulan, nomor dua setelah Sumatera.
Beberapa daerah penghasil kayu manis di Kalimantan Selatan adalah Loksado dan Padang Batung di Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berlokasi di sepanjang punggung Pegunungan Meratus.
Pengusahaan kayu manis di Loksado masih terbatas pada pengusahaan bagian kulit dari pohon kayu manisnya saja. Kegiatan yang dilakukan meliputi produksi, penjemuran kulit kayu manis, dan distribusi produk dari kulit kayu manis baik itu dalam bentuk gulungan (mentah) maupun sirup.
Meski demikian, sejak tahun 2010, kayu manis dari Loksado telah mendapatkan sertifikat organik SNI. Adanya sertifikasi ini cenderung berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan petani sehingga memotivasi petani kayu manis untuk meningkatkan produktivitasnya.
Di kecamatan ini hampir sebagian besar masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani kayu manis. Pohon kayu manis di Loksado sebagian besar berada di luar kawasan hutan, yaitu di tanah atau kebun masyarakat yang berkembang secara sporadis dari hasil budidaya.
Pada awalnya produksi kayu manis dilakukan oleh masyarakat Dayak setempat dengan cara meramu kayu manis di dalam hutan sepenuhnya. Keberadaan pohon kayu manis di dalam hutan yang semakin langka, mendorong masyarakat Dayak untuk membudidayakannya.
Budidaya kayu manis baru dimulai sekitar tahun 2000-an dengan bantuan pemerintah daerah. Budidaya kayu manis yang dipusatkan di beberapa wilayah hutan balai adat di Kecamatan Loksado ini telah dikenal baik oleh masyarakat. Teknik penanaman dikembangkan dari biji dan cabutan anakan yang tumbuh di sekitar pohon kayu manis.
Sebelumnya kayu manis yang dipasarkan oleh masyarakat setempat berasal dari pohon kayu manis yang tumbuh alami di dalam hutan. Pohon kayu manis hanya bisa dipanen satu kali. Untuk mengambilnya, warga harus memasuki hutan belantara, berjalan hingga berjam – jam. Dari waktu ke waktu jarak yang ditempuh semakin jauh karena jumlah pohon kayu manis semakin berkurang.
Hanya saja, berbeda dengan masyarakat petani kayu manis di Kalimantan Selatan, cara pemanenan kayu manis di Jambi dan Sumatera Barat dinilai lebih lestari. Di Kalimantan Selatan, pohon kayu manis ditebang dahulu baru dikuliti, sedangkan di Jambi pemanenan dilakukan dengan menyisakanpotongan batang bawah (tunggul) yang akan dipelihara dan bisa bisa dipanen lagi 5-6 tahun kemudian.
Diinformasikan, tanaman kayu manis yang dikembangkan di Indonesia sebagian besar adalah jenis Cinnamomum burmanii Blume. Jenis kayu manis ini merupakan tanaman asli Indonesia. Hasil utama kayu manis adalah kulit batang dan dahan, sedang hasil ikutannya adalah ranting dan daun.
Komoditas ini selain digunakan sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkan dalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok, dan sebagainya.



ATRAKSI JUKUNG HIAS BANJARMASIN SEBUAH HIBURAN TAHUNAN

$
0
0

hias Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, Hampir semua jalanan di pusat Kota Banjarmasin, Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, pada Sabtu malam (30/9) macet, karena saat itu semua warga kota ingin menyaksikan lomba jukung hias tanglong yang dipusatkan di Kota Martapura, persis pusat kota.
Atraksi yang digelar setiap tahun rangkaian hari jadi (Harjad) kota yang kini 2017 sudah berusia 491 tahun tersebut, selalu saja menjadi perhatian warga Banjarmasin dan sekitarnya, bahkan oleh para pendatang baik yang berasal dari Pulau Jawa, Sumatera, bahkan dari Malaysia.
Khususnya para pendatang keturunan Etnes Banjar yang sudah lama bermukim di berbagai wilayah nusantara dan mancanegara itu.
Atraksi yang berlangsung tahun ini pengunjungnya lebih membludak lagi, lantaran untuk menonton atraksi tersebut tak sesulit tahun-tahun sebelumnya setelah hampir seluruh bantaran sungai di kawasan tersebut sudah terbuka dan bebas dari pemukiman dan bangunan fisik lainnya.
Hal tersebut terjadi setelah belakangan ini Pemkot setempat mengenjot pekerjaan Siring sungai yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas tersebut layaknya “Water Front City” yang memiliki lapangan hijau yang terbuka arah ke sungai.
Apalagi atraksi lomba jukung hias yang berpusat di panggung terapung depan bangunan Menara Pandang tersebut dilengkapi dengan aneka lampu hias, lampu laser, dan aneka ornamen yang bernuansa budaya yang kesemuanya dilengkapi kerlap-kerlip lampu hias pula.
Panggung terapung pun kali ini lebih meriah setelah adanya band yang menampilkan artis-artis lokal bahkan juga artis nasional, gisel idol, yang ikut menyaksikan atraksi budaya dan atraksi wisata tersebut.
Belum lagi hiburan musik tradisional yang disebut “Musik Panting” yang seniman nya mendayu-dayu menyanyikan lagu-lagu berbahasa Banjar.
Atraksi seni mewarnai hiburan rakyat tersebut adalah tarian-tarian oleh seniman tari yang tampil bukan di panggung tapi justru di atas atap sebuah kapal motor yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga penampilan itu kian atraktif saja.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Wakil Wali Kota Hermansyah, terlihat begitu gembira saat membuka lomba yang sudah diagendakan dan dipopulerkan ke antereo negeri sebagai destenasi wisata andalan kota yang mayoritas bermusim waga lokal etnes Banjar itu.
Wali Kota Ibnu Sina pun menyebutkan atraksi ini salah satu upaya dan keinginan Pemkot setempat sebagai kota sungai terindah di nusantara.
“Belum ada di Indonesia yang disebut sebuah kota sungai, kita memiliki 102 sungai dan kini kian dibenahi sehingga wajar jika kita menobatkan diri sebagai kota sungai terindah di indonesia,” katanya seraya ditepuk tangan hadirin termasuk pada pejabat SKPD lingkup Pemkot Banjarmasin, dan unsur Muspida.
Sementara Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Banjarmasin Ikhsan Alhaq selaku penanggungjawab acara tersebut melaporkan bahwa lomba diikuti 31 peserta baik perahu bermesin mapun perahu tak bermesin.
Bagi mereka masing-masing kelompok memperebutkan hadiah puluhan juta rupiah plus piagam penghargaan, mereka dianjurkan memodifikasi sedemikian rupa perahu hiasnya tentu dengan sarat harus ada keseimbangan hiasan dan lampu layaknya tanglong dan tingkat kreativitasnya.
Menurut Ikhsan Alhaq yang dikendaki kreativitas perahu hias yang menampulkan suseuatu yang unik, menggambarkan rumah adat, menggambarkan binatang, atau bahkan yang melambangkan lokasi-lokasi wisata dunia, umpamanya ada bentuk perahu menara eiffel Paris.
Menurutnya kedepan atraksi ini kalau bisa tak lagi hanya menampilkan peserta lokal, tetapi regianal bahkan bisa menasional.
Menurut Ikhsan Alhaq, lomba jukung hias ini semestinya dari dulu hingga sekarang jangan seperti itu saja, harusnya lebih kreasi, lebih inovasi, dan lebih menarik, bukan saja bagi masyarakat setempat tetapi oleh para pendatang, khususnya wisatawan.
Jika lomba jukung hias tanglong ini kian menarik maka Pemkot Banjarmasin kian gencar lagi mempromosikan, dan akan menjadi kalender wisata tahunan yang diandalkan, tambahnya.
“Kita ingin nanti yang diundang bukan saja pendayung lokal dengan jukung hias tanglong dari Banjarmasin dan sekitarnya, kalau perlu kita undang secara nasional dimana daerah-daerah di indonesia dikenal ada sungainya,” katanya.
Seperti diundang warga Palembang, Makassar, beberapa kota di Jawa dan Sumatera lainnya, kalau perlu dibuka oleh Menteri Pariwisata, bahkan kalau lebih akbar lagi bisa di bukoa oleh Presiden.
Makanya mulai sekarang ayulah para seniman, para pembuat atau perajin perahu, dan pemerhati lainnya untuk bersama-sama mendesain lomba ini lebih akbar lagi, terutama mendesain bentuk perahu yang dilombakan agar lebih menarik.
Sebab jika even ini dikenal luas banyak sekali implikasinya, seperti banyaknya wisatawan hingga berdampak bagi perhotelan dan resuaran dan pedagang cendmata serta angkutan.
Kemudian perajin perahu juga pasti kian banyak pesasan sehingga tingkat kesejahteraan mereka bisa menikkat pula, demikian Ikhsan Alhaq.

Terang Benderang

Dalam atraksi di kota seluas 98 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa tersebut telah mengubah sebuah Sungai Martaputa yang tadinya hanya gelap atau remang-remang kini menjadi terang benderang.
Dimana-mana terlihat perahu besar bermesin aneka lampu hias dan kreativitas tanglung berbentuk rumah banjar, berbentuk jembatan barito, berbentuk ikan kelabau, berbentuk perahu gandengan, berbentuk masjid, dan enaka bentuk lainnya.
Bahkan yang menjadi perhatian ada sebuah perahu berhias berbentuk binatang naga, terbuat dari botol kemasan bekas dan bahan bekas yang terbuat dari pelastik lainnya.
Apalagi bentuk binatang naga tersebut begitu mencolong warna lampunya dan kerlap kerlip seakan naga tersebut hidup dan bergerak, dengan demikian menjadi peserta ini di nobatkan oleh Wali Kota Ibnu Sina dan pejabat lainnya sebagai peserta favorit untuk perahu bermesin.
Satu lagi dikelompok perahu tak bermsenin dengan tema perahu gandengan juga memperoleh penilaian sebagai peserta favorit pula lantaran juga memanfdaatkan limbah pelastik menjadi perahu.
Setiap kali perahu hias itu yang dinilai bagus selalu disambut riuh rendah dan tepuk tangan oleh hadirin yang diperkirakan mencapai 10 ribu lebih yang memadati lokasi Siring Tendean dan Siring Sudirman.
Setelah lima dewan juri yang terdiri dari empat seniman dan seorang jurnalis tersebut maka keluar sebagai juara pertama untuk perahu hias bermesin dengan undian urut satu, sedangkan juara pertama untuk perahu hias tak bermesin jatuh ke nomor urut sebelas.
Selain juata satu, dua. dan tiga juga ada juara harapan satu sampai juara harapan tiga.
Melihat atraksi yang demikian ramai maka wali kota pun merasa puas dan yakin jika kedepan wilayahkan bakal menjadi sebuah kota sungai terindah di tanah air.


KALIMANTAN KAYA AKAN KEHIDUPAN AMFIBI

$
0
0

katak Oleh Hasan Zainuddin
Berbicara tentang Pulau Kalimantan tidak akan ada habisnya. Salah satu pulau terbesar di dunia, pulau yang mempunyai ekoregion tersendiri karena diapit oleh dua benua dan dua samudra, pulau yang langsung berada dibawah garis katulistiwa.
Sehingga menempatkan pulau ini pada suatu keadaan iklimatis dan geografis yang khas. Lantai hutannya selalu basah, mempunyai banyak tipe vegetasi dan bahkan eksosistem, dari dataran rendah lahan basah hingga padang tundra diketinggian tempat jauh dari permukaan laut.
Dari tanah yang kaya hingga tanah yang miskin hara. Semua keadaan tersebut mengharuskan flora-fauna yang ada terspesialiasi dan berakhir pada jalur evolusi yang rumit, hingga terbentukklah spesies-spesies yang ada hingga saat ini yang sering dijuluki dengan “Keajaiban penciptaan.”
Amfibi adalah salah satu ciptaan penuh keajaiban yang mengisi ke khasan Kalimantan. Selain nilai endemisitas pada kelompok, mamalia, burung dan fauna invertebrata, Kalimantan juga mempunyai jumlah Amfibi yang cukup banyak bahkan mempunyai ke khasan tersendiri.
Hingga tahun 2005 peneliti beranggapan bahwa di Tanah Kalimantan setidaknya terdapat 184 jenis katak dan kodok. Dengan kemajuan tekhnologi pada bidang genetika memungkinkan ditemukannya spesies baru yang semakin memperkaya jumlah dan keragaman amfibi tersebut.
Peneliti hewan melata Biodiversitas Indonesia Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Zainudin kepada ANTARA di Banjarmasin, Sabtu mengemukan itu seraya menyebutkan dari keanekaragaman amfibi di Indonesia penduduki peringkat delapan di dunia bahkan keanekaragaman amfibi Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia setelah China.
Sedangkan di tingkat Asia Tenggara Indonesia menduduki urutan pertama sebagai negara dengan keanekaragaman amfibi tertinggi.
Di dunia dikenal tiga bangsa yang termasuk ke dalam kelas amfibi ini, yaitu Bangsa sesilia (amfibi yang bentuknya serupa cacing), caudata (salamander), dan anura (yang kita kenal sebagai katak dan kodok).
Amfibi yang umum hidup di Indonesia adalah amfibi dari kelas anura dan sesilia, namun amfibi dari kelas sesilia ini sulit untuk ditemukan karena kebiasaannya yang hidup dalam tanah.
Amfibi memegang peranan penting bagi kelangsungan ekosistem di Indonesia, karena mereka adalah makhluk yang sangat sensitif terhadap baik dan burungnya lingkungan yang menjadi habitatnya.
“Mereka sangat baik untuk dijadikan indikator perubahan lingkungan, terlebih lingkungan perairan, amfibi adalah kelompok hewan yang sangat sensitif” ujar Zainudin di kantronya.
Dalam penjelasannya lebih lanjut mengenai amfibi disebutkan amfibi mempunyai beberapa peranan penting yang terkait langsung dengan kelangsungan suatu ekosistem, dinataranya indikator sehatnya suatu lingkungan hidup
Perubahan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan amfibi, terlebih lingkungan perairan.
Hal ini erat kaitannya dengan siklus hidup amfibi. Amfibi mempunyai siklus hidup di air dan didarat, sehingga sering disebut hewan yang hidup di dua alam. Telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi berudu yang tumbuh dan berkembang pada habitat perairan, selama diperairan amfibi seperti katak dan kodok akan mengalami metamorfosis sempurna untuk mencapai tahap dewasa.
Apabila kondisi lingkungan kurang baik, kemungkinan terhambatnya metamorfosis akan semakin tinggi. Sehingga bisa saja berudu katak atau kodok mati sebelum mencapai tahap dewasa.
Isu terbaru adalah bermunculannya BD atau Batrachochytrium dendrobatidis adalah spesies fungus atau jamur mikroskopis yang dapat menyebabkan sitridiomikosis pada amfibi.
Seperti yang diketahui amfibi bernapas dengan memanfaatkan tiga organ pada tubuhnya yaitu paru-paru, kulit yang basah, dan selaput pada rongga mulut, BD akan menyebabkan kulit amfibi sperti gejala terbakar.
Amfibi yang terinfeksi BD akan mati karena terganggunya sistem pernapasan mereka. Banyak jenis amfibi kita di dunia yang terancam kepunahan oleh organisme ini. BD berkembang dengan sangat baik pada lingkungan yang tidak sehat” Jelas Zainudin.
Kontroler hama pertanian dan wabah DBD Amfibi adalah pembasmi hama alami, pakan amfibi yang kebanyakan adalah serangga membuat mereka menjadi kawan yang baik bagi petani. Dengan adanya amfibi di kawasan pertanian akan menciptakan pembasmi hama wereng dan belalang secara alamiah. Selain itu ia juga mampu mengontrol perkembangan nyamuk DBD yang berpotensi membahayan manusia.
Satwa ini bernilai ekonomis Indonesia adalah salah satu ekportir daging katak terbesar di dunia, beberapa spesies katak sawah seperti Rana catesbeiana, Fejervarya cancrivora, dan Limnonectes macrodon adalah spesies yang paling banyak dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor daging katak yang menjanjikan.
Bahkan kemampuan ekspor daging katak Indonesia bisa mencapai puluhan ton pertahunnya. Namun Zainudin menyayangkan hal tersebut menurutnya, negara kita harus belajar dari India yang berhenti menjadi pemasok daging katak terbesar di dunia. Penangkapan berlebih untuk memenuhi komoditi ekspor menyebabkan peningkatan wabah pandemi deman berdarah di negara tersebut.
“Jangan sampai itu terjadi juga pada kita, ekspor boleh saja dilakukan namun dengan kuota penangkapan yang dibatasi” Tandasnya lagi.

 

Objek wisata

Selain burung sebagai objek wisata birdwatching, amfibi dan hewan melata lain juga dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan suatu daerah. Wisatawan dengan minat khusus dapat mengakses jalur ekowisata hewan melata dengan kegiatan herping pada lokasi yang menjadi habitat hewan melata tersebut.
Taman Nasional Gunung Ciremai Jawa Barat misalnya menjadikan kodok darah (Leptophryne cruentata) sebagai ikon wisata herping andalan mereka. Banyak wisatawan lokasl apalagi mancanegara yang rela merogoh kocek puluhan juta untuk melihat spesies itu di habitat alaminya.
Hal ini juga coba di adopsi Zainudin dan timnya, menurutnya wisatawan mulai banyak mengunjungi Kalimantan Selatan hanya untuk mencoba sensasi herping di hutan hujan tropis kita.
Namun seperti yang kita ketahui selama ini, alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit sangat masif di Kalimantan. Ancaman tersebut belum termasuk dari sektor pertambangan, seperti batu bara, emas, pasir, batu kars hingga batu kali.
Sebagian besar lahan Kalimantan yang berjenis lahan gambut juga selalu terbakar sepanjang tahun. Bayangkan betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi amfibi untuk bertahan di hutan Kalimantan. Pada dasarnya kira akan mendapat banyak keuntungan dengan adanya amfibi dilingkungan kita.
“ini adalah fakta bukan sekedar bualan saya belaka” ujar Zainudin meyakinkan.


REVOLUSI HIJAU SOLUSI ATASI KERUSAKAN LINGKUNGAN KALSEL

$
0
0

hijau

FKH Banjarmasin dilibatkan dalam pembentukan forum revolusi hijau

 

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin ()- Intrusi air laut di Sungai Martapura jika sepuluh tahun lalu hanya seputaran Sungai Bilu Kota Banjarmasin, belakangan ini sudah ke kawasan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Jauhnya tingkat intrusi air laut di Sungai Martapura yang berhulu ke Pegunungan Meratus yang menjadi kawasan resapan air telah membuktikan terjadinya kerusakan lingkungan kawasan resapan air tersebut.
Akibat kerusakan alam hutan Pegunungan Meratus maka air yang mengalir di Sungai Martapura di saat musim kemarau menjadi lemah, lantaran volume air yang turun sedikit sehingga tekanan air dari hulu ke hilir menjadi lemah.
Sebaliknya tekanan air laut yang terkontaminasi kadar garam tinggi terus menyusup ke hulu sungai, dan jika tak ada perbaikan atau rehabilitasi kawasan hutan Pegunungan Meratus di khawatirkan tekanan air laut akan terus kehulu.
Padahal air Sungai Martapura selama ini tumpuan harapan untuk pengambilan air baku air bersih perusahaan air minum di tiga wilayah Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin.
PDAM Banjarmasin sendiri mengeluhkan air baku tersebut di saat musim kemarau, lantaran air baku PDAM setempat mengambil di kawasan Sungai Tabuk yang sudah terintrusi air laut tersebut.
Sementara air tanah kawasan ini karena berada di wilayah rawa gambut hingga air tanah mengandung zat besi yang tinggi serta bahan-bahan yang sulit diolah air minum.
Sungai Martapura hulunya berada di Pegunungan Meratus, khususnya di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam
Padahal kondisi Tahura yang seluas 112 ribu hektare itu belakangan ini kian rusak saja, lantaran kebakaran hutan, dan ditengarai juga akibat adanya penebangan kayu secara liar dan usaha pertambangan ilegal, dan kegiatan pemukiman.
Data sementara sekitar 30 persen atau 40 ribu hektare lahan resapan air Tahura Sultan Adam sudah rusak.
Bukti Tahura yang merupakan daerah resapan air tersebut sudah rusak adalah kian berkurangnya volume air yang turun dari wilayah tersebut, sehingga seringkali terjadi intrusi air laut ke Sungai Martapura itu tadi.
Berdasarkan keterengan jika jika kadar garam air sungai Martapura di atas 200 ppm maka sulit dijadikan air bersih PDAM, kenyataan intrusi air laut itu menyebabkan kadar garam di sungai yang menjadi tumpuan sekitar 700 ribu warga Banjarmasin itu bisa mencapai 1000 ppm lebih.
Bukan hanya peroalan keasinan sungai yang dihadapi perusahan air minum saat ini, tetapi juga adanya tingkat kekeruhan air Sungai Martapura yang begitu tinggi lantaran partikel lumpur dalam air yang pekat menandakan air sudah tidak bersih lagi setelah adanya kerusakan kawasan di hulu sungainya.
Tingkat kekeruhan yang ideal untuk diolah menjadi air bersih hanya 50 hingga 100 mto per liter, tetapi hasil laboratorium di PDAM setempat ternyata air Sungai Martapura pernah mencapai 500 hingga 1000 mto, malah kasus tertinggi capai 5000 mto per liter.
Akibat kerusakan hutan di hulu sungai, menyebabkan terjadi erosi dan bila terjadi hujan sedikit saja maka partikel tanah merah, pasir, dan debu dan lainnya ikut larut dan masuk ke dalam sungai terus mengalir kemuara hingga ke Banjarmasin.
Menurut perkiraan, bila tidak ada upaya perbaikan kawasan Tahura yang dianggap sebagai wilayah menara air Kalsel itu, maka lima atau sepuluh tahun ke depan wilayah ini akan kesulitan memperoleh air bersih untuk air minum.
Tahura Sultan Adam ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 52 Tahun 1989 seluas 112.000 Ha dan secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut.
Sejak tahun 2008 telah dibentuk UPT Dinas kehutanan Provinsi Kalsel Taman Hutan Raya Sultan Adam dengan Dasar Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang SOTK Perangkat Daerah Provinsi Kalsel dan Pergub Kalsel Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tahura Sultan Adam.
Tahura yang berekosistem hutan hujan tropika ini terdapat aneka flora dan fauna yang beberapa diantaranya spesifik Kalimantan, seperti meranti (Shorea spp), ulin (Eusideroxylon zwageri), kahingai (Santiria tomentosa), damar (Dipterocarpus spp.), pampahi (Ilexsimosa spp.), kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandiflorus), mawai (Caethocarpus grandiflorus), jambukan (Mesia sp.), kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain.
Sedangkan faunanya terdapat bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjak), kijang mas (Muntiacus atherodes), dan pelanduk (Tragulus javanicus).
Kemudian juga ada hewan landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), kuau/harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Berenicornis comatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo atthis), raja udang hutan (Halycon chloris), dan lain-lain

Revolusi Hijau

Tahura Sultan Adam adalah kawasan hutan dan perairan Kalsel yang tercatat 1.779.982 hektare, dari luas tersebut sekitar 700 ribu hektare sudah dikatagorikan kritis.
Melihat kondisi tersebut, maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang sekarang dipimpin Gubernur Haji Sahbirin Nor mencanangkan gerakan revolusi hijau dalam upaya merehabilitasi hutan yang rusak tersebut dengan jargon “Menanam, Menanam, dan Menanam.”
Program Revolusi Hijau yang digalakkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan diharapkan mampu merehabilitasi kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.
Revolusi hijau ditandai dengan penghijauan di sepanjang ruas Jalan Trans-Kalimantan serta rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) mencapai 35.000 hektare per tahun.
Revolusi hijau merupakan program pembangunan bidang lingkungan yang menjadi visi dan misi Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor.
Program ini menitikberatkan pada kegiatan edukasi, peningkatan kepedulian, kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam menanam.
Program ini juga bertujuan meningkatkan indeks kualitas lingkungan Kalsel yang kini berada pada urutan 26 dari 33 provinsi di Tanah Air.
“Program revolusi hijau yang mulai kita galakkan sejak dua tahun terakhir ini diharapkan mampu mengatasi kerusakan lingkungan di Kalsel,” ungkap Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Hanif Faisol Nurofiq, di Banjarmasin, saat membentuk Forum Revolusi Hijau yang melibatkan pegiat lingkungan Forum Komunitas Hijau (FKH) Kabupaten dan Kota se-Kalsel, di Banjarbaru, pekan lalu.
Dalam pembentukan forum tersebut, disusun gerakan setiap 13 kabupaten di kota se-Kalsel, yang setiap daerah diketuai oleh Sekda kabupaten dan kota setempat, lalu ada bagian-bagian yang melibatkan komunitas hijau sekaligus sebagai bagian aksi.
Selain melibatkan pegiat lingkungan seperti FKH se Kalsel, gerakan ini juga melibatkan semua instansi, TNI-Polri, serta masyarakat, yang merupakan bagian dari program revolusi hijau.
Salah satu bagian dari Program Revolusi Hijau yang sudah dilakukan adalah penanaman pohon di sepanjang ruas Jalan Trans-Kalimantan sepanjang kurang lebih 100 kilometer, meliputi ruas Km 5,5 Kota Banjarmasin hingga Pengaron, Kabupaten Banjar, dan ruas Lianganggang, Kota Banjarbaru, hingga Sebuhur, Kabupaten Tanah Laut.
Pohon yang ditanam ialah jenis trembesi, tebubuya, dadap merah, pucuk merah, melati jakarta, dan lainnya. Penanaman pohon dengan ukuran besar ini menyedot anggaran Rp21 miliar lebih. Penanaman juga dilakukan di kawasan perkantoran Pemprov Kalsel di Banjarbaru.
Program Revolusi Hijau juga memprioritaskan pada kegiatan rehabilitasi DAS yang dicanangkan mulai 2017 hingga 2026 mendatang. Rehabilitasi DAS menargetkan penanaman hingga 35.000 hektare per tahun.
Melihat kesungguhan Pemprov Kalsel tersebut agaknya akan melegakan sebagian masyarakat akan kembalinya pelestarian hutan atau lingkungan wilayah ini.
Asal saja tambah sebagian warga yang lain program ini benar-benar murni untuk perbaikan lingkungan bukan dijadikan rel politik mempertahankan pemerintahan yang ada, atau hanya kamufelase, artinya hanya hijau di bagian perkotaan yang mudah dilihat tetapi justru kerusakan bertambah akibat penebangan kayu dan pertambangan di pedalaman yang sulit terpantau.

FKH BALANGAN TEMUKAN POHON BESAR WARISAN ALAM

$
0
0

pohonParingin, 19/2 – Sebuah kelompok pemuda pecinta lingkungan, Forum Komunitas Hijau (FKH) Citra Sanggam Balangan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, saat jelajah hutan Kecamatan Halong kabupaten setempat menemukan sebuah pohon sangat besar.
Pohon itu sangat besar mungkin untuk mengelilingi pohon itu memerlukan setidaknya delapan orang dengan berpegangan tangan, kata Ketua FKH Citra Sanggam Balangan, Fahnor di desa Panggung, Paringin Selatan, Senin.
Pohon yang ditemukan tersebut secara tak sengaja, dikala para anak muda FKH menjelajah hutan untuk mengindentifikasi tanaman buah-buahan endemik Kalimantan yang ada di kecamatan tersebut.
Setelah melihat ada sebuah pohon yang menjulang mereka pun mendekati pohon tersebut dan ternyata pohon tersebut sangat besar.
Mereka sendiri kurang mengetahui jenis pohon tersebut tetapi diperkirakan pohon tersebut adalah yang biasa disebut sebagai pohon kusi.
Tampaknya pohon tersebut pernah disarangi lebah di atasnya, karena ada bagian-bagian pohon yang berbekas orang naik, diberi paku dan bekas sabetan parang untuk lokasi alat sarana menaiki pohon tersebut.
“Kita sempat berfoto di pohon yang tepatnya berada di Desa Mentuyan,” kata Adie seorang anggota FKH Cita Sanggam yang ikut dalam penjelasan tersebut.
Menurut pecinta lingkungan ini, pohon tersebut sudah sewajarnya dilestarikan, karena itu merupakan warusan alam yang tertingal, dan diperkirakan usianya ratusan tahun dan boleh jadi ribuan tahun.
Mereka berharap pemilik lahan ikut memelihara tanaman langka itu untuk anak cucu kedepan, baik sebagai sarana pendidikan dan sarana penelitian.
Kepada pemerintah Kabupaten Balangan atau pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mereka berharap juga memiliki perhatian terhadap pohon itu, kalau perlu untuk pelestariannya dibeli saja lahan tersebut oleh pemerintah.

FKH BALANGAN INGIN MILIKI KEBUN TANAMAN OBAT

$
0
0

Paringin, ()-Para aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Forum Komunitas Hijau (FKH) Citra Sanggam, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, berkeinginan memiliki kebun sendiri yang menampung aneka tanaman obat yang ada di wilayah setempat.

“Kami memiliki lahan sekitar setengah hektare, dan lahan tersebut rencananya kita tanami berbagai koleksi tanaman hutan yang berpotensi obat-obatan, atau juga tanaman obat yang sudah dikenal luas,” kata anggota FKH Citra Sanggam, Adie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Didun, di Desa Panggung, Paringin Selatan, Kamis.

Oleh karena itu, katanya belum lama ini mereka selama dua hari keluar masuk hutan setempat, semata ingin mengidentfikasi tanaman hutan yang berpotensi obat sekaligus mengambil bibit untuk dibudidayakan di lahan FKH di desa setempat.

Dalam penjelajahan hutan tersebut mereka menemukan tanaman yang disebut Kamandrah (Croton Tigliun L), tanaman ini berdasarkan pengalaman tetuha kampung bahari banyak digunakan untuk obat pencahar perut.

Yakni biji buah ini setelah diminum maka seisi perut keluar melalui berak-berak terus sehingga perut dinilai bersih dari aneka racun, dan untuk menghentikan berak warga meminum air larutan kerak nasi.

Makanya biji buah itu akan disemai lalu dikembangkan dilahan itu, kemudian mereka juga menemukan tanaman cambai jenis tanaman merambai persis sirih, tetapi daunnya lebih lebar dan memiliki buah yang warna buah merah.

Tanaman yang juga menyerupai sejenis cabe puyang dulu sering digunakan buahnya untuk mengusir masuk angin, dan daunnya untuk penyakit “menyamak” (seperti sesak napas).

Kemudian anggota FKH juga menemukan tanaman Kakajar yang biasanya tanaman ini digunakan untuk sakit pinggang.

Ada puluhan tanaman hutan yang mereka temukan, antaranya telunjuk langit, pelungsur ular, kerangka hirang, jelatang, dan beberapa jenis lainnya, dan bibitnya dibawa ke kampung dan akan ditanam dikebun lingkungan itu.

Tapi satu yang mereka cari tetapi tak diketemukan lagi di hutan Balangan yaitu pohon Ipuh, ipoh atau upas (Antiaris toxicaria) adalah sejenis pohon anggota suku Moraceae.

Pada masa lalu, pohon ini sangat terkenal karena getahnya yang sangat beracun, yang digunakan untuk meracuni mata panah (Gr. toxicon: racun panah), mata tombak, untuk berburu hewan.

Pohon ipoh yang juga disebut pohon upas adalah pohon besar dengan ketinggian bisa mencapai 40 m serta kayunya putih dan ringan. Dahan-dahannya, Karena getah kulit pohonnya mengandung racun, maka orang menamakan racunnya sebagai upas.

“Pokoknya apa saja tanaman hutan yang diperkirakan mengandung bahan obat-obatan akan dikoleksi di kebun FKH, biar nanti menjadi bahan penelitian dan lahan pendidikan bagi masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa,” kata Adie.
obat

TUPAI RAKSASA BALANGAN SUDAH MULAI MENGHILANG

$
0
0

tupaitupai1Paringin,20/2 (-) Tupai raksasa yang biasa disebut oleh warga Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai tangkarawak kini sudah mulai menghilang di wilayah tersebut.
“Kami tidak tahu mengapa tupai yang panjangnya bisa mencapai satu meter itu menghilang, di hutan wilayah ini,” kata Adie, seorang anggota pecinta lingkungan, Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten balangan, Selasa.
Menurut Adie, dulunya tupai yang bewarna kulit kuning kecoklatan tersebut sering terlihat berlompatan di dahan-dahan pohon, dan mengeluarkan bunyi atau suara yang khas.
Tetapi sejak sepuluh tahun terakhir ini tupai yang rakus menyantap buah-buahan ini, jarang terlihat, bahkan sulit sekali kalau ingin menyaksikan keberadaan satwa endemik Kalimantan tersebut.
“Mungkin lantaran dianggap hama, karena suka menyerang tanaman kebun buah masyarakat, maka tupai itu banyak yang diburu sehingga populasinya menjadi turun drastis,” katanya.
Padahal kebedaraan satwa tersebut memperkaya keanekaragaman hayati setempat, dan bisa dipromosikan sebagai kawasan wisata yang menarik, karena binatang itu selain unik dan langka dan sangat eksotis bila dipublikasikan kepada wisatawan.
Oleh karena itu, kata Adie yang dikenal sebagai anggota pecinta lingkungan Forum Komunitas Hija (FKH) tersebut, pihaknya berusaha mencari lokasi hutan yang masih ada satwa tersebut.
Salah satu lokasi yaitu hutan Watangan, Desa Panggung, itupun jika ingin menyaksikannya harus berjalan pelan-pelan dan mengedap-endap, sebab bila tahu ada kedatangan orang maka satwa itupun akan lari kencang menjauh.
Tetapi jika ingin melihat secara dekat, menurut Adie, ada salah satu warga yang memelihara binatang tersebut yaitu di Desa Wangkili, Kecamatan Awayan.
Warga tersebut menurutnya ceritanya secara tak sengaja menemukan anak tangkarawak yang jatuh dari pohon dan ditinggalkan induknya, karena merasa kasihan lalu dipelihara dan sekarang sudah mulai besar atau setengah dewasa dan ditempatkan dalam satu kurungan besar di depan rumah.
Menurut cerita lagi, binatang yang menjadi peliharaan tersebut pernah lepas tetapi tak mau menjauh dan masuk lagi ke dalam sanggar, karena tak terbiasa mencari makan sendiri di hutan.

POPULASI BINATANG SADU DI PEDALAMAN KALSEL MENURUN

$
0
0

sadu

Sadu tertabrak mobil di jalan raya

Banjarmasin,23/2-18 ()Populasi binatang Sadu di pedalaman Kalimantan Selatan, dalam sepuluh tahun belakangan ini terjadi penurunan yang drastis.
Penurunan populasi binatang Sadu tersebut diperkirakan ada kaitannya dengan kian rusaknya alam lingkungan, kata Adie, seorang anggota organisasi pecinta lingkungan, di Kabupaten Balangan, Jumat.
Menurut Adie yang biasa dipanggil Didun tersebut, sudah jarang terlihat binatang Sadu itu berkeliaran di perkampungan, padahal dulu hampir terlihat setiap malam.
Sebab binatang yang biasa mengeluarkan bau khas yang menyengat tersebut termasuk binatang malam, dan siang hari tak pernah dijumpai binatang ini, ia akan keluar sarang pada malam hari untuk mencari makan.
Binatang yang postur tubuhnya kecil seperti kucing tetapi bentuknya menyerupai babi itu bila terancam bahaya mengeluarkan bau yang sangat menyengat, yang oleh warga setempat bau itu dikeluarkan melalui kentutnya.
Bahkan saking kuat bau yang menyengat itulah yang menjadi senjata ampuhnya untuk melindungi diri dari ancaman bahaya, terutama dari binatang buas.
Adie sendiri menyayangkan kian menurunnya populasi satwa unik tersebut, karena keberadaannya adalah memperkaya kehidupan satwa yang termasuk dalam kekayaan sumberdaya alam setempat.
Belum lama ini masih terlihat Sadu di Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Balangan, namun sayangnya kemunculannya justru baha bagi binatang itu karena tertabrak mobil dan tergeletak di jalan dan mati.
Walau saat tertabrak sempat mengeluarkan bau menyengat sehingga satu kampung menjadi ribut akibat bau menyengat itu, akhirnya oleh seoranbg warga sadu yang mati tertabrak itu dibuang ke sungai agar mengurangi bau yang menggangu warga tersebut.
Berdasarkan wikipedia, Sadu adalah Mydaus javanensis (sebelumnya disebut Mydaus meliceps) adalah sigung yang habitat aslinya di Indonesia bagian barat, Kalimantan, dan Malaysia.
Hewan mamalia yang dapat mengeluarkan bau busuk jika terganggu ini termasuk ke dalam suku Mephitidae.
Dalam bahasa lokal dikenal juga sebagai teledu, telegu, kesensedu, kensedu, sadu / sa’at (bahasa Banjar) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris, hewan ini dikenal sebagai Indonesian stink badger, Malayan stink badger, Malay badger,
Mamalia bertubuh kecil dengan panjang kepala dan tubuh antara 370-520 mm dan ekor pendek 34-38 mm. Kakinya pendek, tungkai belakang bagian bawah antara 64-70 mm, dan bermoncong panjang.[4]
Tubuh Mydaus javanensis tertutupi rambut yang panjang dan lebat. Warnanya hitam atau coklat tua, dengan garis belang putih memanjang bagian atas tubuh dari tengah kepala hingga ekor. Berat badannya berkisar antara 1,4-3,6 kg.[5] Bentuk dan panjang garis putih di punggungnya itu bervariasi dari tempat ke tempat
Mydaus javanensis merupakan binatang nokturnal yang penyendiri, dan mencari makanannya di tanah (terestrial) dan menggalinya dengan menggunakan cakar dan moncongnya.
Mangsanya, di antaranya, adalah cacing tanah dan tempayak serangga (misalnya tonggeret). Hewan ini bersifat omnivora memangsa aneka jenis katak, ular, tikus, burung, dan telur. Mydaus javanensis juga memakan buah-buahan, akar, jamur, dan dedaunan.


Merajai Desa Wisata Halong Balangan

$
0
0

 

 

merajai

Hasan Zainuddin

Desa Marajai, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, oleh masyarakat setempat akan dijadikan desa wisata alam dan buah-buahan.

Kepala Desa Marajai Adi Setiawan kepada Antara di Halong, Senin membenarkan desa Marajai akan dijadikan wisata lantaran kondisi alam yang pantas menjadi sebuah kunjungan wisatawan disamping ada kekayaan desa berupa pohon buah-buahan endemik Kalimantan.

“Desa kami memiliki hutan, riam berair deras, gunung, sungai air jernih, budaya masyarakat Dayak, serta ada kebun buah-buahan khas Kalimantan,” kata Adi Setiawan.

Melihat potensi tersebut, maka wajar warga ingin menjadikan desa mereka sebagai desa wisata, apalagi untuk menuju desa ini mudah saja dapat dikunjungi dengan kendaraan roda empat, tambahnya.

Yang menjadi andalan wisata desa ini lantaran masih tersedianya pohon-pohon buah mulai langka, produksinya yang dijual-belikan baik ke ibukota kecamatan, ibukota kabupaten bahkan ke daerah-daerah lainnya.

Untuk jenis durian saja mungkin wilayah Marajai yang paling banyak memberikan kontribusi bagi pedagang durian di Balangan.

Apalagi durian di Marajai aneka spicies, ada durian berkulit merah yang disebut lahung (durio dulcis) ada durian kuning yang disebut mantaula (Durio kutejensis), ada durian berkuli warha hijau tua, berduri lancip panjang yang disebut mahrawin (Durio oxleyanus), dan aneka jenis durian lainnya.

Ada pula sembilan jenis tarap-tarapan, seperti kulidang ((Artocarpus lanceifolius roxb), puyian (Artocarpus rigidus) dan lainnya. Kemudian juga ada buah kapul (Baccaurea macrocarpa),kalangkala (Litsea garciae),gitaan / tampirik ( Willughbeia angustifolia) dan kumbayau ( Dacroydes rostrata).

Buah lainnya yang teridentifikasi di desa bagian dari Pegunungan Meratus tersebut adalah Silulung (Baccaurea angulata) maritam (Nephelium ramboutan-ake) bumbunau (Aglaia laxiflora), babuku ( Dimocarpus longan subspecies malesianus),luying/luing (Scutinanthe brunnea).

Untuk menjadikan desa itu sebagai deswa wisata maka mereka mendatangkan seorang relawan yang memotivasi masyarakat agar menjada alam dan memelihara tumbuh-tumhuhan khususnya buah sebagai aset wisata.

Relawan dimaksud adalah Jumali Wahyono Perwito atau yang dikenal dengan sapaan Mas Jiwo Pogog, lantaran yang bersangkutan sudah mampu merubah desa tandus Pogog, lereng gunung Wonogiri, Jawa Tengah, menjadi desa wisata melalui pengembangan durian Muntong.

Kedatangan Mas Jiwo Pogog ke desa Pegunungan Meratus tersebut berkat bantuan Hanif Wicaksono seorang karyawan BKKBN yang meikhlaskan diri menjadi pemerhati dan relawan pengembangan buah-buahan Desa Marajai.

Desa Marajai, Kecamatan Halong, berpenduduk 197 KK dengan jumlah penduduk 578 jiwa./f

Merajai Halong Masih Miliki Koleksi Buah-buahan Kalimantan

$
0
0

 

 

1.23

Hasan Zainuddin

Desa Marajai, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, masih memiliki sejumlah pohon pohonan buah langka endemik Kalimantan.

Pemerhati buah khas Kalimantan Hanif Wicakcono bersama Kepala Desa Marajai Adi Setiawan kepada Antara di Halong, Senin membenarkan desa Marajai masih banyak tumbuh pohon-pohonan buah khas Kalimantan yang sekarang sudah mulai langka.

“Kita bersyukur masih ada lokasi lahan yang ditumbuhi aneka buah-buah khas Kalimantan, karena tidak dijadikan kebun karet unggul dan sawit sebagaimana lahan-lahan lainnya di wilayah ini,” kata Hanif Waicaksono.

Lantaran masih tersedianya pohon-pohon buah itu maka Marajai merupakan wilayah penghasil buah-buahan jenis langka itu yang banyak dijual belikan, baik ke ibukota kecamatan, ibukota kabupaten bahkan ke daerah-daerah lainnya.

Untuk jenis durian saja mungkin wilayah Marajai yang paling banyak memberikan kontribusi bagi pedagang durian di Balangan.

Apalagi durian di Marajai aneka spicies, ada durian berkulit merah yang disebut lahung (durio dulcis) ada durian kuning yang disebut mantaula (Durio kutejensis), ada durian berkuli warha hijau tua, berduri lancip panjang yang disebut mahrawin (Durio oxleyanus), dan aneka jenis durian lainnya.

Ada pula sembilan jenis tarap-tarapan, seperti kulidang ((Artocarpus lanceifolius roxb), puyian (Artocarpus rigidus) dan lainnya.

Buah lainnya yang teridentifikasi di desa bagian dari Pegunungan Meratus tersebut adalah Silulung (Baccaurea angulata) maritam (Nephelium ramboutan-ake) bumbunau (Aglaia laxiflora), babuku ( Dimocarpus longan subspecies malesianus),luying/luing (Scutinanthe brunnea).

Kemudian juga ada buah kapul (Baccaurea macrocarpa),kalangkala (Litsea garciae),gitaan / tampirik ( Willughbeia angustifolia) dan kumbayau ( Dacroydes rostrata).

Kepala Desa Marajai Adi Setiawan berjanji akan mengajak pemilik lahan buah-buahan tersebut untuk merawat dan mengembangkannnya lebih luas lagi tumbuhan tersebut agar desa mereka bisa menjadi sentra buah-buahan endemik Kalimantan yang mulai langka itu.

Desa Marajai, Kecamatan Halong, berpenduduk 197 KK dengan jumlah penduduk 578 jiwa.?

KADAR KEASAMAN SUNGAI BANJARMASIN MENINGKAT

$
0
0

sungai

Hasan Zainuddin
Banjarmasin,()- Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mengakui tingkat kadar keasaman air sungai yang ada di wilayah kota tersebut belakangan ini meningkatkat drastis.
Bahkan ada satu titik wilayah sungai tepatnya air sungai depan Rumas Sakit Ansari Saleh, atau yang lebih dikenal sebagai Sungai Awang itu kadar keasamannya sangat pekat, kata Asisten II Sekdako Banjarmasin Drs H Hamdi kepada wartawan di Banjarmasin, Senin.
Hamdi mengutarakan tersebut mendampingi Wakil Wali Kota Hermansyah dan Sekdako Hamli Kursani dalam acara jumpa pers dua tahun kepempimpinan Wali Kota Ibnu Sina dan Wakil Wali Kota Hermansyah di balaikota.
Menurut Hamdi berdasarkan penelitian air sungai di depan Ansari Saleh tersebut tingkat pH hanya tiga, padahal idealnya air sungai itu tingkat pH adalah tujuh, berarti sangat asam.
Memang wilayah Banjarmasin dengan wilayah bergambaut tingkat keasaman air sungai memang tinggi, namun seharusnya tetap toleransi, tetapi melihat kenyataan sekarang sampai pH tiga berarti sudah ada yang kurang beres terhadap lingkungan wilayah ini.
Hamdi memperkirakan tingginya tingkat keasaman tersebut tidak terlepas dari eksploitasi lahan gambut sekitar Banjarmasin, umpananya dijadikan lahan-lahan sawit dan lahan persawahan atau pemukiman.
Dengan pembukaan lahan gambut secara besar-besaran wilayah Banjarmasin dan sekitarnya itulah yang menyebabkan lapisan pirit lahan gambut yang sangat asam keluar kemana-mana dan menumpuk wilayah Sungai Awang.
Kalau melihat kadar keasaman sepekat tersebut maka air itu jangankan untuk minum, untuk kehidupan ikan saja akan susah di sungai tersebut.
Iatu hanya kadar keasaman yang mempengaruhi kualitas air di Banjarmasin, belum lagi gangguan kualitas lainnya seperti kandungan bakteri coli yang sangat tinggi yang mencapai belasan ribu PPM padahal idealnya hanya 250 PPM.
Termasuk tingkat kekekuran yang sangat keruh yang menandakan sungai wilayah Banjarmasin terkontaminasi lumpur akibat erosi dan kerusakan hutan wilayah hulu.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas air sungai di Banjarmasin tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah setempat saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak diantara pemerintah kabupaten dan kota yang ada di wilayah ini.

MARAJAI SELAMATKAN BUAH KHAS KALIMANTAN YANG TERSISA

$
0
0

12345678

Oleh Hasan Zainuddin
Paringin,()- Kian maraknya perkebunan kelapa sawit dan kebun karet unggul di berbagai daratan Provinsi Kalimantan Selatan, telah mengubah kondisi hutan yang beraneka ragam buah-buahan khas setempat, menjadi kawasan kedua jenis tanaman tersebut.
Belum lagi adanya penambangan batubara yang mengupas lahan yang di atasnya berhutan dengan aneka buah-buahan tersebut, telah menghilangkan ratusan spicies pelasma nuftah yang sebenarnya sangat bernilai jika terus dilestarikan.
Tadinya dari 1,7 juta hektare lahan hutan di Kalsel, kondisinya terus menurun seiring berkembangnya perkebunan kedua komoditi yang menjadi andalan ekonomi tersebut.
Belum lagi sekitar 700 ribu hektare lahan yang kering kerontang akibat kebakaran hutan dan eksploitasi lainnya menyebabkan populasi buah-buahan endemik pulau terbesar di tanah itu terus menyUsut.
Berkurangnya kayu-kayu hutan membuat sebagian warga setempat terus menebang kayu dari pohon buah-buahan itu sekadar hanya untuk memenuhi kebutuhan KAYU pembuatan rumah, pondok, dan bangunan lainnya.
Belum lagi adanya warga yang menebang pohon buah untuk dijadikan veener sebagai bahan pelapis dalam plywood (kayu lapis) untuk kebutuhan ekspos.
Berbagai tindakan tersebut terus menghilangkan keaneka ragaman hayati berupa buah-buahan tersebut, sehingga dikhawatirkan beberapa jenis buah akan hilang, karena sekarang sudah mulai langka.
Berdasarkan catatan untuk jenis durian saja di Kalimantan Ini terdapat sekitar 40 jenis, dari semua itu sebagian terbilang unik dan tak ada di daerah lain.
Sebagai contoh di Kalsel ini ada durian yang kulitnya kuning keemesan dan isi buah juga kuning keemasan yang disebut penduduk setempat “pampakin” atau di Kaltim disebut buah lai (Durio kutejensis).
Kemudian ada pula durian berkulit merah kehitaman berduri panjang-panjang, isi warna putih warna biji hitam, rasanya khas yang disebut lahung ((durio dulcis) .
Ada lagi durian perpaduan antara durian biasa dengan pampakin yang disebut mantaula, lain lagi durian bulat kecil dengan duri panjang dan besar, isisnya warna kuning dan tebal disebut karatongan.
Satu lagi yang disebut mahrawin (Durio oxleyanus) bentuknya persis karatongan tetapi warna kulit lebih hijau dan bulu yang runcing lebih pendek-pendek.
Semua jenis durian tersebut, konon, hanya ada di Kalimantan, karena tak pernah ditemukan tumbuh di luar dari habitat aslinya pulau Kalimantan.
Menurut pemerhati buah-buahan Kalimantan, Hanif Wicaksono, Kalimantan memang surga bagi tanaman buah, hanya saja sekarang populasinya terus menurun akibat eksploitasi lahan yang terus meningkat untuk berbagai kepentingan.
Menurut dia, akibat kian menghilangnya jenis buah Kalimantan ini menimbulkan banyak keprihatinan yang mendalam akan lenyapnya kekayaan alam tersebut.
Tak sedikit orang di luar Kalimantan, seperti dari Pulau Jawa yang merasa terpanggil untuk menyelamatkan plasma nutfah tersebut, lalu membeli biji-biji buahan tersebut.
Hanif sendiri yang pekerjaannya adalah penyuluh program Keluarga Berancana (KB) dan desa binaannya adalah Desa Marajai, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalsel, dan kebetulan ia mendalami masalah buah-buahan Kalimantan ini merasaterpanggil untuk mengajak warga desa binaanya menggalakan pembudidayaan lagi buah-buah tersebut.
Ketika bersama penulis, Hanif Wicaksono yang didampingi Kepala Desa Marajai Adi Setiawan yang lebih populer dipanggil Adi Balangan mencoba menelusuri kawasan hutan setempat yang dipenuhi tanaman buah endemik Kalimantan.
Tim kecil yang juga diiikuti oleh pengelola Kebun Raya Balangan tersebut menemukan sebuah kawasan yang banyak ditemui buah-buahan yang khas tersebut.
Untuk sejenis buah tarap saja di desa tersebut terdapat delapan jenis, kata Hanif Wicaksono seraya menunjuk beberapa pohon yang ada di kawasan yang termasuk Pegunungan Meratus itu atau sekitar 250 Km Utara Banjarmasin.
Buah tarap sejenis pohon buah dari marga pohon nangka (Artocarpus) bentuknya seperti bola kaki, berbulu warna hijau jika mentah dan warna merah jika matang, isinya dengan banyak biji kecil dan rasanya khas.
Jenis lain yang menyerupai tarap ditemukan dikawasan itu adalah binturung (arctictis binturong), Ada pula s yang disebut kulidang ((Artocarpus lanceifolius roxb), puyian (Artocarpus rigidus) dan lainnya
“Kita bersyukur masih ada lokasi lahan yang ditumbuhi aneka buah-buah khas Kalimantan, karena tidak dijadikan kebun karet unggul dan sawit sebagaimana lahan-lahan lainnya di wilayah ini,” kata Hanif Waicaksono.
Lantaran masih tersedianya pohon-pohon buah itu maka Marajai merupakan wilayah penghasil buah-buahan jenis langka itu yang banyak dijual belikan, baik ke ibukota kecamatan, ibukota kabupaten bahkan ke daerah-daerah lainnya.
Untuk jenis durian saja mungkin wilayah Marajai yang paling banyak memberikan kontribusi bagi pedagang durian di Balangan, tambah Hanif yang dianggukan pula Kepala desa.
Apalagi durian di Marajai aneka spicies, ada durian berkulit merah, durian kuning , durian hhijau tua, berduri, dan durian berkulit warna agak jingga.
Buah lainnya yang teridentifikasi di desa bagian dari Pegunungan Meratus ini adalah Silulung (Baccaurea angulata) maritam (Nephelium ramboutan-ake) bumbunau (Aglaia laxiflora), babuku ( Dimocarpus longan subspecies malesianus),luying/luing (Scutinanthe brunnea).
Kemudian juga ada buah kapul (Baccaurea macrocarpa), kalangkala (Litsea garciae),gitaan / tampirik ( Willughbeia angustifolia) dan kumbayau ( Dacroydes rostrata).
Kepala Desa Marajai Adi Setiawan berjanji akan mengajak pemilik lahan buah-buahan tersebut untuk merawat dan mengembangkannnya lebih luas lagi tumbuhan tersebut agar desa mereka bisa menjadi sentra buah-buahan endemik Kalimantan yang mulai langka itu.
Bahkan oleh kepala desa kawasan ini akan dijadikan agrowisata buah-buahan endemik Kalimantan yang akan terus dipromosikan ke berbagai daerah.***3***

BSF ANGKAT KEBERADAAN KAIN SASIRANGAN AGAR MENDUNIA

$
0
0

Oleh Hasan Zainuddin

Banjarmasin, Seorang wanita tinggi semampai berdiri di depan sebuah bangunan tua di tepian Siring Tendean, banyak mata pengunjung yang memadati kawasan objek wisata andalan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu yang tertuju ke arah wanita yang agaknya menunggu teman-temannya yang mengikuti kegiatan “Banjarmasin Sasirangan Festival” (BSF) yang digelar 7-11 Maret 2018 ini.

Sesekali wanita tersebut membetul-betulkan letak gaun kain khas Suku Banjar yang dikenakannya itu karena serpihan angin, senyum khas wanita itu seakan padu dengan motif kain sasirangan yang dominan bewarna hijau tersebut.

“Oh sungguh cantik,” kata seorang pemuda yang dari tadi memperhatikan gerak gerik wanita yang ditaksir berusia 20 tahun itu.

Kegiatan BSF yang berpusat di Menara Pandang Siring Tendean, kawasan wisata susur sungai kota seribu sungai tersebut pada tahun ini bertemakan “Sasirangan to The World.”

Pemerintah dan masyarakat Kota Banjarmasin tak ingin kain kebanggaan warga yang menghuni bagian selatan pulau terbesar tanah air tersebut, cuma cukup untuk dinikmati warga setempat, kain ini harus go internasional dan dikenal ke manca negara.

Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan pemerintah dan warga setempat guna mengangkat citra khasanah kain yang lahir dari proses budaya nenek moyang setempat, yang dalam sejarahnya kain ini hanya sebatas sebagai peralatan pengobatan.

Dalam BSF 2018 menawarkan aneka acara yang dijamin memanjakan wisatawan. Ada parade budaya unik, kegiatan religi, expo, hingga forum diskusi. Bahkan

Sebagai daya tarik, panitia juga menghadirkan artis Terry Putri. Untuk memperkuat nilai kain adat Banjar ini, saat kegiatan BSF juga ada atraksi unik yakni menyirang (mengerjakan kain sasirangan) sepanjang 250 meter melibatkan ratusan pelajar.

Festival juga akan memilih duta sasirangan 2018, memilih putri muslimah sasirangan hingga Pemuda Pelopor. Selain itu bagi anak-anak, silahkan mengikuti lomba mewarna untuk PAUD. Nuansa religius juga dibangun melalui kasidah dan hadrah.

Semua potensi yang dimiliki Banjarmasin atau Kalimantan Selatan agaknya akan ditampilkan dalam BSF, makanya panitia juga akan menggelar bazaar dan expo, kata Assiten II Sekdako Banjarmasin Drs Hamdi saat berbincang dengan penulis.

Menurut Hamdi festival 2018 akan dikemas berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kemasannya lebih segar, dan juga melibatkan publik figur, seperti artis Terry Putri yang juga berasal dari Banjarmasin ini. Ia mengakui adanya upaya Pemkot mengangkat lebih tinggi keberadaan kain yang selama ini sudah menjadi barang cendramata bagi wisatawan yang datang ke ibukota provinsi Kalsel itu.

Menurut Hamdi yang juga Ketua panitia BSF keberadaan sasirangan selama ini belum memuaskan semua pihak, terutama kalangan wisatawan mancanegara, lantaran pewarna yang digunakan sebagian besar adalah bahan kimia sehingga warna menjadi mencolok dan kurang alamiah.

Oleh karena itu upaya kedepan bagaimana kain sasirangan ini diproduksi dengan proses pewarna dari bahan sumberdaya alam setempat yang mudah saja dicari, selain biaya tidak mahal, namun produk sasirangan itu akan berharga mahal, lantaran diminati.

Kedepan kain sasirangan akan mempergunakan pewarna berasal dari daun-daunan, buah, dan kayu, seperti kunyit untuk membuat kain jadi berwarna kuning, kayu ulin untuk warna coklat atau merah marun, warna biru menggunakan daun indigo, warga ungu berasal dari buah balangkasua, dan banyak lain pewarna alam yang tersedia di kawasan ini.

Motifnya pun akan terus diperbaharui dan diperkaya dari selama ini yang dikenal dengan motif Iris Pudak, Kambang Raja, Bayam Raja, Kulit Kurikit, Ombak Sinapur Karang, Bintang Bahambur, Sari Gading, Kulit Kayu, Naga Balimbur, Jajumputan, Turun Dayang, Kambang Tampuk Manggis, Daun Jaruju, Kangkung Kaombakan, Sisik Tanggiling, dan Kambang Tanjung.

“Kita yakin jika semua kian khas ini pakai pewarna alamiah pasti lebih lembut, dan akan memancing lebih banyak lagi pembeli untuk memiliki dan pengunakan kain kebanggaan masyarakat Kalsel itu, khususnya dari luar negeri,”kata Hamdi.

Bila kebaradaan kain ini sudah lebih terangkat kepermukaan harapannya tak sekedar dipakai saat ada acara resmi saja, tak sekadar jadi barang cendramata, tetapi akan menjadi mata dagangan antarpulau bahkan jadi mata dagangan ekspor, dan hal itu bukan saja akan meningkatkan kontribusi pendapatan daerah yang lebih penting bagaimana mendongkrak penghasilan para perajin yang pada gilirannya mensejahterakan masyarakat luas.

Kain Pengobatan
Berdasarkan berbagai catatan atau cerita rakyat yang berkembang di masyarakat suku Banjar, kain ini sudah ada sejak abad XII sampai XIV saat wilayah ini dikuasai oleh Kerajaan Dipa.

Kain sasirangan pertama kali di buat yaitu manakala Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting balarut banyu (di atas rakit mengikuti arus sungai).

Menjelang akhir tapa nya, rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengar suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini.

Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi/padiwaringin.

Itulah kain calapan/sasirangan yang pertama kali dibuat dan sering disebut oleh masyarakat sebagai batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.

Itulah sejarah singkat asal usul kain sasirangan. Arti kata sasirangan sendiri di ambil dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “sirang” yang berarti “jelujur”. Sesuai dengan proses pembuatannya, Di jelujur, di simpul jelujurnya kemudian di celup untuk pewarnaannya.

Sasirangan menurut tetua adat Banjar dulunya di pakai untuk pengobatan orang sakit, dan juga di gunakan sebagai laung (ikat kepala adat Banjar), Kakamban (serudung), udat (kemben), babat (ikat pinggang), tapih bahalai (sarung untuk perempuan) dan lain sebagainya. Kain ini juga di pakai untuk upacara-upacar adat Banjar.

Sekarang Sasirangan bukan lagi di peruntukkan hanya untuk spiritual, tapi sudah jadi pakaian kegiatan sehari-hari.

Pemerintahan Kalimantan Selatan, Sasirangan di sejajarkan dengan batik. Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan 91 tahun 2009 tentang standaarisasi Pakaian Dinas pegawai Negeri sipil di lingkungan Pemprov Kalsel.

Pegawai negri sipil dibebaskan memilih untuk memakai Sasirangan atau pun Batik di hari yang sudah di tentukan, bahkan ada pemerintah kabupaten dan kota tertentu justru mewajibkan pemakaian kain khas ini padawaktu tertentu.fb

WISATA SUSUR SUNGAI KARAU TEMUKAN VEGETASI EKSOTIS

$
0
0

hayaping1

limpasu

 

pohon binuang

batu putih

 

Oleh Hasan Zainuddin
Perahu bermesin yang ditumpangi menyusuri Sungai Karau yang dibendung tepatnya di Desa Batu Putih, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, terus melaju dengan menyusuri aliran yang berliku-liku.

Sesekali perahu yang dikemudikan seorang pemandu wisata, Ajie, penduduk setempat, memperlambat lajunya lantaran banyak tunggul kayu yang terlihat di atas air, khawatir tertabrak, tunggul kayu itu bagian dari tanaman yang tenggelam setelah Sungai Karau bagian hulu dibendung menyebabkan sejumlah tamaman tenggelam.

Di kiri dan kanan sungai dipenuhi oleh vegetasi yang konon sebagian adalah tanaman khas setempat, yang memekarkan bebungaan yang indah dan harum, buah-buah yang bisa dimakan, serta aneka manfaat yang memberikan keuntungan bagi warga setempat.

Dalam perjalanan susur sungai selama sekitar dua jam, penulis menikmati pemandangan kiri kanan yang penuh dengan tanaman hutan, disertai bunyi-bunyi binatang kecil di hutan, burung, dan suara kera yang melahirkan “simponi” alam.

Udara terasa sejuk walau perjalanan sudah menjelang tengah hari. Terik matahari walau menyirami bumi, tapi seakan tak terasa panas lantaran perasaan terus menikmati pemandangan dan suasana alam yang eksotis.

Sesekali penulis meminta pemandu Ajie untuk memperlambat perahu kecilnya lantaran terlihat ada pohon yang buahnya bergelantungan, ada warna hijau dan warna kuning keemasan.

“Stop, stop,” kataku (penulis), “ada apa” kata Ajie, “aku lihat buah unik,” kataku, “oh ya” kata Ajie lagi.

Lalu perahu kecil itu dimatikan mesinnya, pelan-pelan meminggir dan merapat ke tepian, tempat sebatang pohon tegak berdiri penuh dengan buah-buah.

Buah tersebut menurut Ajie, namanya limpasu (Baccaurea Lanceolata), bagi penduduk setempat buah unik yang bisa dimakan tersebut kebanyakan dibuat kosmetika berupa pupur dingin (bedak) setelah dicampur dengan tepung beras.

Menurut Ajie lagi, buah itu banyak digunakan untuk membuat sambal lantaran rasanya yang asam agak khas, hingga jika dibuat sambal untuk makan akan memunculkan selera makan.

Kegunaan lain, bisa untuk mengusir tikus di sawah, setelah umpan tikus dicampur dengan racikan buah tersebut, maka tikus tak akan mengganggu lagi sawah penduduk setempat, konon setelah termakan buah itu gigi tikus akan terasa ngilu sehingga tak mampu lagi menyerang padi di sawah.

Menurut Ajie lagi, buah itu bagus jika digunakan langsung untuk membersihkan muka, untuk menghilangkan flek-flek hitam di wajah.

Caranya cari buah yang masak warna kuning lalu dibelah ambil bagian kulit langsung disapukan ke muka berulang-ulang, insya allah, flek di wajah akan hilang.

Lantaran terasa asam maka buah itupun sering pula digunakan oleh penduduk setempat, untuk membekukan lateks karet yang baru di sadap dari pohon karet, untuk mempermudah hasil sadapan karet dari kebun ke rumah untuk dijual.

Bahkan berdasarkan sebuah catatan yang diperoleh penulis buah Limpasu merupakan antioksidan (anti-radikal bebas). Semakin matang, semakin berkurang Vitamin C di dalamnya. Buah tersebut juga mengandung karbohidrat tinggi.

Di beberapa daerah di Kalteng, seperti di Sampit, limpasu kerap jadi sumber rasa masam pada Juhu Ansem (masakan tradisional). Mereka yang sekarang berusia 50-an ke atas mungkin pernah merasakan makanan tersebut.

Kalau untuk obat sebagian masyarakat Kalimantan menggunakan limpasu sebagai obat meriang. Bagian ini direbus kemudian airnya digunakan untuk mandi.

Bukan hanya limpasu yang banyak tumbuh di tepian sungai yang konon berhulu ke Pegunungan Meratus (Muller dan Schwaner) tersebut, tetapi juga banyak tumbuh pohon yang disebut “Hayaping” bentuknya menyerupai enau atau aren, tetapi pohonnya kecil, buahnya juga bisa digunakan untuk makanan serupa kolang-kaling.

Namun bunganya sangat bagus, bungkul bunga bewarna merah kehitaman, jika mekar bunganya bewarna kuning agak jingga.

Konon warga setempat sering memanfaatkan pohon eksotis ini adalah untuk sayuran setelah pohon bagian atas dibelah maka terdapat isi pohon yang muda disebut “humbut.”
Humbut itulah yang dibuat sayuran untuk aneka makanan, dan dibuat sayur bening juga terasa nikmat dan lezat.

Bahkan jika warga hajatan kawinan dan selamatan lainnya memanfaatkan humbut dari tanaman ini dibuat makanan untuk sesajian tamu yang datang.

Hutan kiri kanan itu juga terdapat aneka spicies rotan, ada yang disebut rotan paikat, rotan manau, rotan walaung, rotan gambis, dan jenis rotan lainnya yang tampak tumbuh merambat di bagian pepohonan kawasan setempat.

Vegetasi yang lain terlihat aneka palem-palamen, selain tanaman hayaping tadi juga terlihat enau, rumbia, pinang hutan, risi, timputuk yang kesemuanya memperkaya vegetasi kawasan yang banyak dihuni warga pedalaman tersebut.

Bahkan dalam perjalanan itu terlihat beberapa jenis kayu ekonomis, seperti ulin, sintuk, meranti, bangkirai, sungkai,mahoni, trambesi, dan aneka tanaman lagi.

Tak ketinggalan terlihat pohon buah-buahan endemik Kalimantan, family durian, (Durio) seperti buah lahung, karantungan, mahrawin, pembakin, mantaula, dan aneka jenis asam-asaman (Mangefera) , hambawang, kelipisan, rawa-rawa, kasturi, tandui, dan lainnya.

Dan terdapat dua buah pohon yang sangat besar yang merupakan peninggalan atau warisan alam yang masih tersisa, yang disebut sebagai pohon Binuang.

Saking besarnya kayu binuang tersebut, memerlukan antara enam hinmgga delapan orang untuk bisa memeluknya.

Di bawah pohon tersebut penulis dan ajie sempat mengambil foto bersama secara selfie menggunakan kamera HP dan fotonya sempat di shere melalui media sosial Facebook, dan memperoleh jempol sangat banyak.

Bukan hanya aneka tanaman yang ada di kawasan tersebut, menurut Ajie pula banyak binatang dan satwa kawasan hutan itu, terutama pilanduk (kancil) kijang (rusa), trenggiling, lutong, kera abu-abu, bahkan Bekantan (Nasalis larvatus).

Belum lagi ada tupai, aneka burung elang, murai, pipit, kutilang, dan aneka burung yang melahirkan bunyi-bunyian di belantara tersebut.

Air yang tetang di kawasan tersebut konon juga terdapat buaya, tetapi belum pernah terdengar yang menyambar atau memangsa manusia, dan ikan-ikan juga banyak, dan banyak yang kena pancing adalah ikan baung, ikan bancir, sanggang, adungan, tilan, sanggiringan, saluang, dan banyak lagi yang lain.

Makanya terlihat di kiri dan kanan sungai banyak warga pedalaman yang meunjun (memancing ikan) dan memasang banjur.

Melihat kekhasan kawasan tersebut wajar jika pemerintah setempat menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata susur sungai dan petualangan yang tentu akan memuaskan pengunjungnya.

Apalagi untuk menuju kawasan ini mudah saja atau sekitar 10 kilometer dari Kota Ampah, bisa menggunakan roda empat dan roda dua, dan untuk menyusuri bendungan ini hingga ke hulunya tersedia puluhan perahu bermesin di kawasan Desa Batu Putih.

PARADE BANJARMASIN SASIRANGAN FESTIVAL DIIKUTI RIBUAN PESERTA

$
0
0

bsf

etnik

etnik1

penuh cinta

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin,()- Parade Banjarmasin Festival (BSF) yang merupakan puncak kegiatan BSF, Sabtu pagi di Banjarmasin meriah dengan diikuti ribuan peserta.
Pantauan di lapangan, menyaksikan farade tersebut diikuti bukan saja dari kalangan kalangan karyawan Pemkot Banjarmasin dan jajarannya, tetapi juga kalangan organisasi kemasyarakat, pelajar, mahasiswa, dan komunitas.
Farade berjalan kaki yang mengambil rute Jalan Lambung Mangkurat dari balaikota Jalan RE Martadinata terus ke Siring Tendean tersebut panjang peserta hampir satu kilometer.
Parade didahului oleh pemain drum band yang memainkan alatnya secara atraktif dan merekapun semuanya menggunakan kostum kain sasirangan.
Barisan kedua diiiringi oleh ibu-ibu PKK yang dipimpin Ketua PKK yang juga isteri Wali Kota Ibnu Sina, Siti Wasilah tersebut juga menggunakan kebaya sain sasirangan.
Hanya saja kelompok ibu-ibu isteri pejabat Pemkot Banjarmasin tidak berjalan kaki, tetapi menggunakan kendaraan semacam kereta, seraya mereka melambai-lambaikan tangan ke masyarakat yang menyaksikan parade tersebut.
Setelah itu baru diingi oleh para karyawan semua SKPD yang ada di Pemkot Banjarmasin, seraya mereka membawa spanduk nama SKPD masing-masing tentu dengan ajakan “YU Kita Pakai Sasirangan.”
Selain itu, juga akan kelompok pakaian Etnik yang agaknya peserta para model yang ada di Kota Banjarmasin, ada sekitar 30 pesetta pakaian etnik yang memberikan nuansa tersendiri dalam parade tersebut.
Tak kalah menarik, ratusan anak sekolah berpakaian seragam sairangan menggelar kain sepanjang ratusan meter seraya berjalan kaki mengikuti farade tersebut, kasin tersebut merupakan hasil dari olahan (menyirang) secara massal oleh mereka sendiri.
Kemudian yang cukup atraktif kelompok sepeda ontel dari Komunitas Sepeda Antik Banjarmasin (Saban), dengan aneka pakaian etnik, pakaian jadul, sneka pakaian lainnya semuanya juga menggunakan kain sasirangan.
Bahkan kelompok ontelis ini membawa pengeras suara yang cukup nyaring seraya membunyikan lagu-lagu berbahasa Banjar dengan syair syair kocak.
Farade tersebut berakhir di panggung hiburan Siring Tendean, dimana sudah menunggu puluhan pejabat, anggota DPRD Banjarmasin, serta pejabat terkait lainnya termasuk TNI dan Polri.
Aneka hiburan juga ditampilkan di panggung tersebut diantaranya Madihin Kocak oleh Anang Syahrani dan atraksi lainnya.
Dalam BSF dari 7-11 Maret ini merupakan BSF untuk kedua kali ini, menampilkan berbagai rangkaian acara untuk menyemarakan agenda wisata nasional ini.
Di antaranya menyirang oleh 150 pelajar dan 100 komunitas, lomba motif sasirangan, parade massal 4000 peserta mengambil star dari Balaikota, kemudian Fashion show, penobatan ambasador, pemilihan putri muslimah dan pemuda pelopor, bazar dan ekspo yang diikuti 50 stand dari seluruh kabupaten, kota se- Kalsel, serta forum diskusi sasirangan.

26


Balitbanghut Teliti Pohon Buah Lahung

$
0
0

Oleh Hasan Zainuddin

lahung

lahung1

Banjarmasin () – Pihak tim dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, terjun ke Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, untuk melakukan penelitian terhadap keberadaan pohon lahung (durio dulcis).

Seorang peneliti utama dari instansi tersebut, Syaifudin S Hut kepada Antara, melalui WhatsApp (WA) Senin, mengakui timnya terjun ke lokasi tersebut, untuk melakukan penelitian keberadaan pohon yang mulai langka itu, maksudnya untuk pelestarian.

Eksplorasi tersebut berlangsung minggu lalu bersama anggota Forum Komunitas Hijau (FKH) setempat.

Tim yang terdiri dari dia sendiri serta dua peneliti lainnya. Kedua peneliti tersebut yakni Edy Suryanto, dan Akhmad Ali Musthofa, dibantu oleh pemuda FKH Balangan sebagai pemandu jalan ke kawasan tersebut.

Tim ini dibantu berbagai peralatan melakukan melakukan pengukuran terhadap sebuah pohon lahung besar yang ada di desatersebut, disamping mencari anakannya untuk dikembangbiakan di areal instansi mereka di Banjarbaru.

Berdasarkan penelitian tim pohon lahung besar yang berada di hutan yang terdapat perkebunan karet itu berdiameter 112 cm, lebar tajuk 26,92 meter, tinggi batang bebas cabang 16 meter, tinggi total 37 meter, dan tinggi banir 5 meter.

Sementara itu pemerhati buah endemik Kalimantan, Hanif Wicaksono melalui FB-nya menjelaskan buah lahung sejenis durian, tetapi kulit warna merah kehitaman dengan duri lancip dan panjang.

Bagi beberapa orang yang baru merasakan durian lahung akan sangat wajar bila merasa aneh. hal ini seperti melihat orang barat yang baru mencoba durian.

Ada kesan aneh yg susah dijelaskan. bahkan beberapa orang pun mendeskripsikan lahung mempunyai aroma seperti aerosol, alkohol, mint, bahkan pembersih lantai.

Memang tidak memungkiri lahung punya bau unik yg khas, tetapi tidak semua lahung beraroma keras.

Pada dasarnya buah lahung itu manis sesuai namanya “dulcis” yang berarti manis. lahung seperti durian punya banyak sekali varian. beberapa varian lahung mempunyai aroma yg lebih lembut dan rasa yang manis krimi tanpa bau yang mencolok seperti lahung.

Meski rata2 lahung berwarna putih banyak juga lahung yang mempunyai daging buah berwarna kuning hingga oranye. Dari berdaging tipis hingga tebal.

Durio dulcis di Kalsel termasuk spesies yang diketahui paling sering mengalami silang alami (hybrid) selain pampakin (D kutejensis).

Hal ini kemungkinan karena masa pembungaan lahung yg lebih awal daripada spesies durio lain.

Balitbanghut Banjarbaru Teliti Pohon Raksasa

$
0
0

Oleh Hasan Zainuddin

pohon

Banjarmasin ()- Pihak tim dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, terjun ke Desa Mentoyan, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, untuk melakukan penelitian terhadap keberadaan pohon raksasa.

Seorang peneliti utama dari instansi tersebut, Syaifudin S Hut kepada Antara, di Halong 230 Km Utara Banjarmasin, Jumat mengakui timnya diterjunkan ke lokasi tersebut, atas perintah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perintah tersebut, keluar setelah tersebar berita ditemukannya sebuah pohon berukuran besar besar oleh kalangan anak muda pecinta lingkungan Forum Komunitas Hijau (FKH) Balangan beberapa waktu lalu.

Untuk memastikan keberadaan pohon besar yang berpotensi sebagai objek wisata, penelitian, dan objek pendidikan tersebut maka diterjunkanlah tim yang terdiri dari dia sendiri serta dua peneliti lainnya.

Kedua peneliti tersebut yakni Edy Suryanto, dan Akhmad Ali Musthofa, dibantu oleh pemuda FKH Balangan sebagai pemandu jalan ke kawasan tersebut.

Tim ini dibantu berbagai peralatan melakukan melakukan pengukuran, disamping mencari anakannya untuk dikembangbiakan di areal instansi mereka di Banjarbaru.

Penelitian tersebut pada hari Kamis (15/3) menelan waktu beberapa jam, di wilayah tersebut dan sempat menjadi perhatian warga setempat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa banir pohon tersebut dengan ukuran 25,7 meter atau untuk mengelilingi pohon ini memerlukan setidaknya 15 orang berpegangan tangan.

Tinggi batang tanpa cabang 16,5 meter, tinggi banir 16 meter, tinggi keseluruhan 42 meter, diameter pohon tanpa banir 203 centemeter.

Yang unik, getah pohon ini bewarna merah darah, dan terdapat semacam damar diantara kulit pohon yang terkelopas.
Pohon berada di RT 1 Desa Mentoyan. Warga setempat menyebut pohon Jalamu sejenis pohon kenari.

Mereka berharap pohon tersebut terpelihara dengan baik karena itu adalah warisan alam yang sangat langka, sebagai objek wisata, objek penelitian, dan objek pendidikan di kemudian hari.

WALHI : 335,88 KM SUNGAI KALSEL JADI LUBANG TAMBANG

$
0
0

Oleh Hasan Zainuddin

walhibws
Banjarmasin (20/3-2018)- Fakta spasial menyebutkan sepanjang 335,88 kilometer sungai di wilayah Provinsi Kalimantan berubah menjadi lubang tambang, dan itu sungguh mengkhawatirkan bagi kelestarian sumber daya air.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono di Banjarmasin Selasa, saat memberikan paparan dalam seminar “Selamatkan Alam Untuk Air.”
Dalam seminar dalam rangkaian Hari Air Dunia yang diselenggarakan Balai Wilayah Sungai (BWS) II Kalimantan tersebut, Walhi Kalsel mengungkapkan pula lebih dari 5.600 kilometer sungai di Kalsel melintas dan berasal dari hutan, terutama hutan tropis Pegunungan Meratus.
Namun disayangkan sebanyak 41 persen hutan Meratus dan hutan lainnya di Kalsel, saat ini juga terdapat izin tambang, katanya dalam makalah “Menyelamatkan Air Menyelamatkan Kehidupan.”
Selain itu, tambahnya, faksa spasial lainnya di ekosistem karst menunjukkan, luas pegunungan karst di Kalsel mencapai 610.766 hektare, dari luas tersebut sebanyak 356.552 hektare di antaranya di kawasan tersebut kini dibebani izin tambang.
Kemudian hutan Kalsel mencapai 984.791 hektare, dan sebanyak 399.000 hektare hutan itu saat ini juga dibebani izin tambang.
Diungkapkan pula total izin tambang di Kalsel 1,2juta hektare atau 33 persen dari luas Kalsel 3,7 juta hektare, dan total izin perkebunan kelapa sawit 618,7 ribu hektare atau sekitar 17 persen luas Kalsel.
Akibat dari sektor pertambangan tersebut tentu mencemari air sungai sebagai sumber kehidupan.
Pernah terjadi satu hektare tanah longsor di Desa Kintap Tanah Laut akibat lubang tambang dekat sungai, terjadi menjelang Idul Fitri terbukti kejadian tersebut pencemaran tambang mengotori air sungai.
Dalam paparan tersebut terungkap pula pertambangan batubara meracuni air di Kalsel dan melecehkan hukum Indonesi9a (Greenpeace Indonesia).
Seminar yang berlangsung sehari itu diikuti 100 peserta dari kalangan pecinta lingkungan, mapala, mahasiswa, akademisi, serta perwakilan berbagai instansi yang terkait.

BKSDA BERUPAYA UNGKAP KEBERADAAN KIJANG EMAS

$
0
0

Oleh Hasan Zainuddin
kijang

Banjarmasin,21/3 () – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan kini berusaha keras memastikan keberadaan satwa unik dan langka kijang emas yang onon berada di wilayah kerjanya.
Kasie Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel, Ridwan saat berbincang dengan penulis di Banjarmasin, Rabu mengakui pihaknya merasa penasaran dengan keberadaan binatang tersebut.
“Kita memastikan keberadaannya, karena berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, kijang emas itu memang ada di wilayah ini,” katanya.
Untuk memastikan keberadaan tersebut, pihak BKSDA Kalsel telah memasang sebanyak enam buah kamera pengintai binatang di beberapa lokasi dimana perkiraan satwa itu berada.
Alat kamera tersebut memang dinilai kurang mencukupi untuk mengintai satwa itu, karena idealnya minimal 30 kamera, tetapi karena harganya mahal maka hanya bisa dipasang enam buah.
“Tahu ga harga kamera itu sangat mahal sekitar rp30 juta per unit, bayangkan kalau harus menyediakan 30 unit maka dana yang harus dikeluarkan minimal rp1 miliar,” tambahnya.
Kendati mahal, pihak BKSDA akan menambah kamera tersebut sebanyak 10 unit lagi untuk mengetahui keberadaan kijang emas serta satwa-satwa yang ada di wilayah ini.
Namun pemasangan sudah berlangsung dua bulan belakangan ini belum terekam adanya gambar di kamera yang memastikan keberadannya.
Tetapi biasanya pemasangan akan menelan waktu enam bulan untuk bisa mengetahui ada tidaknya satwa yang menjadi perbincangan tersebut, tuturnya.
Berdasarkan catatan, gonjang ganjing adanya kehidupan kijang emas atau juga disebut kijang kuning (Muntiacus atherodes) di kawasan Pegunungan Meratus wilayah Kalimantan Selatan sering terdengar, tetapi agak sulit membuktikan keberadaan satwa tersebut.
Walau dari cerita dari mulut ke mulut konon berasal dari tetua warga setempat membenarkan adanya satwa khas tersebut, namun pihak instansi yang berwenang di provinsi ini tak ada satu yang mengulas tentang kijang tersebut.
Bahkan sebuah tulisan yang dilansir oleh media Dinas Kehutanan Tabalong Kalimantan Selatan, yang mengutip keterangan Menteri Kehutanan menyebutkan bukan tidak ada tetapi tak terbukti ada binatang yang banyak membuat orang penasaran ingin melihatnya itu.
Pernyataan tersebut segera ditindaklanjuti oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel yang menugaskan tim kecil untuk mencari keberadaan kijang kuning di bagian selatan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam dan tidak ditemukan jejak ataupun wujudnya.
Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan tentunya mendapat perhatian bagi sekelompok kecil masyarakat yang berusaha untuk menemukan jejak atau wujudnya.

SUSUR SUNGAI MALAM TREN BARU WISATA RAMADHAN

$
0
0

 

 

kapalOleh Hasan Zainuddin
Naik kelotok (perahu bermesin) seraya menikmati semilir angin malam bermandikan lembutnya cahaya lampu listrik jalanan yang menerobos masuk ke areal sungai merupakan tren baru wisata susur Sungai Martapura, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, selama bulan Ramadhan ini.
Bermodalnya hanya rp5 ribu rupiah per orang tarif yang dikenakan angkutan air ini dalam sekali berlayar yang menyebabkan banyak kaum remaja usai terawih menyempatkan diri secara berkelompok naik perahu unik kelotok ini menyusuri ruang demi ruang lokasi sungai yang membelah wilayah yang berjuluk “kota seribu sungai.” ini.
Biasanya mereka datang ke destinasi wisata unik ini secara rombongan, sesama kawan sekolah, atau sesama alumni sekolah, perguruan tinggi lalu reunian, sambil ngobrol di atas kapal yang berlayar ke sana ke mari sepanjang lima kilomtere wilayah kota berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa tersebut.
Para penikmat wisata susur sungai ini biasa selalu tak membuang waktu menikmati wisatanya dengan berfoto bareng, selfie, bahkan saat berada di atas kapal kelotok yang membawanya melewati kawasan andalan susur sungai wilayah tersebut, seperti lokasi patung Bekantan (kera hidung besar), menara pandang, jembatan merdeka, jembatan pasar lama, dan pasar terapung, Pasar Wadai Ramadhan, serta pemukiman atas air (lanting) yang banyak ditemui di kawasan tersebut.
“Saya suka naik kelotok malam hari, lantaran suasananya yang beda dibandingkan siang, selain hawanya dingin tak panas, juga mata bisa memandang ke berbagai lokasi dengan keindahan lampu-lampu jalanan, taman-taman, atau terang benderangnya gedung bertingkat, kerlap kerlip lampu kendaraan di jalanan, dan lokasi indah lainnya,” kata Rusman seorang pengujung.
Perasaan yang seragam juga disampaikan oleh puluhan bahkan ribuan pengunjung ke lokasi yang mungkin satusatunya yang ada di tanah tersebut, sehingga pengunjung terus membludak.
Apalagi jika hari Sabtu dan Minggu, dimana dua hari dalam seminggu tersebut terdapat atraksi pasar terapung yang menyajikan aneka jualan yang khas berupa hasil alam setempat menjadi magnet pengunjung ke lokasi susur sungai tersebut.
Pengunjung menikmati wisata susur sungai seraya belanja di lokasi pasar terapung yang didominasi pedagangnya wanita berpakaian khas bertopi lebar (tanggui).
Yang menarik lagi selama Ramadhan digelarnya pasar wadai Ramadhan (Ramadhan Cake Fair) tepatnya di tepian Sungai Martapura menambah kesemarakan wisara sungai, karena penikmat susur sungai ini pun singgah untuk berbekanja aneka penganan dan wadai-wadai khas Banjar yang banyak digelar di lokasi atraksi tahunan tersebut.
Belum lagi tersedia warung warung terapung dengan lampu templok dengan sinar remang-remang terdapat di tepian sungai menjajakan dagangan mereka berupa soto Banjar, sate, dan kue-kue, tentu kenikmatan tersendiri para pengunjung yang menyempatkan berwisata malam.
Lokasi yang menjadi andalan destinasi susur sungai Banjarmasin tersebut tak lain adalah Sungai Martapura yang pusat kosentrasinya adalah tepian Siring Tendean yang terletak di jalan Pire Tendean, kemudian Menara Pandang, kawasan Patung Bekantan, serta tepian RE Martadinata, depan balai kota setenpat, di mana lokasi ini terdapat Ramadhan Cake Fair.
Tambahan lainnya di lokasi siring ini pun banyak digelar penganan dan makanan cemilan seperti jagung rebus, jagung bakar, roti bakar, aneka juce, kacang rebus dan goreng, serta ada jualan bakso, gado-gado, dan nasi kuning.
Lokasi kuliner ini pun digelar begitu saja di tepian sungai, pembeli duduk di atas hemparan tikar, karpet, atau tempat duduk yang didesain penjual sedemikian rupa hingga sangat asyiik untuk lokasi ngobrol bermalam-malaman.
Tak jauh dari pusat kuliner disitulah terdapat dermaga sekitar 80 uah kelotok wisata yang siap memanjakan penikmat susur sungai menikmasi malam Ramadhan di kawasan yang belakangan sudah banyak diminati pengunuung itu, dan tercatat tak kurang 6000 pengunjung setiap minggunya.
Penikmat wisata susur sungai ini tak hanya penduduk lokasi dan kawasan-kawasan lain di Provinsi Kalimantan Selatan, tak sedikit pula yang berasal dari luar daerah, Kalteng, Kaltim, Pulau Jawa, Sumatera, bahkan dari Singapura dan Malaysia.

Tren meningkat

Berdasarkan keterangan selama Ramdhan ini wisata susur Sungai Martapura di wilayah siring sungai Kota Banjarmasin dinyatakan para pengemudi trasportasi sungai, yakni, sopir kelotok, ada mengalami peningkatan, khususnya saat malam Ramadhan saat ini.
“Antara pukul 19.00 Wita hingga pukul 21.00 Wita, penumpang yang ingin melakukan wisata susur sungai cukup banyak setiap malamnya di bulan suci Ramadhan ini,” ujar salah seorang pengemudi trasportasi sungai, Kelotok, Muhammad, Selasa.
Dia pun merasa aneh, hingga begitu banyakya para pengunjung di siring sungai yang melakukan wisata susur sungai sekitar sepuluh menit itu, yakni, menempuh jarak dari siring sungai Jalan Piare Tendean berputar ke Jembatan Pasar Lama dan siring Balaikota Banjarmasin tersebut.
“Sampai-sampai kelotok kita tidak ada yang lama-lama nganggur menunggu anterian selama malam Ramadhan ini, minimal tiga kali giliran mengangkut penumpang setiap malamnya itu,” papar warga Basirih, Banjarmasin Utara tersebut.
Padahal, kata Muhammad, kalau sebelum bulan Ramadhan ini, maraknya wisata susur sungai itu hanya pada hari Sabtu dan Minggu, tapi di bulan Ramadhan ini hampir setiap hari.
“Makanya dalam hati kita bertegur juga, dari mana orang-orang ini datangnya, sebab bisa dibilang ribuan orang setiap malamnya itu, sebab bisa dihitung ada puluhan kelotok yang setiap berangkatnya itu sekitar 25 orang diangkutnya,” paparnya.
Namun dibalik itu, aku Muhammad, pihaknya merasa bersyukur mendapatkan berkah rezeki yang cukup banyak, dan dia yakin ini adalah berkah bulan suci Ramadhan. “Moga kondisi ini akan terus semarak hingga berakhirnya Ramadhan nanti,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin Ikhsan Alhak menyatakan, kelangsungan wisata susur sungai dan wisata di siring sungai Martapura menunjukkan kemajuan setiap waktu.
Di mana, tutur dia, enam ribuan bahkan mungkin sampai puluhan ribu pengunjung setiap pekannya melakukan kunjungan untuk merasakan sensasi pariwisata yang dimiliki kota seribu sungai ini.
Namun dia berpesan, agar semuanya menjaga keselamatan, khususnya yang melakukan wisata susur sungai agar tidak berada di atas kapal, sebab sangat berbahaya.
“Makanya kita minta juga trasportasi wisata sungai agar melengkapi standar keamanan, karena ini penting untuk memastikan semuanya berjalan lancar dan tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan,” pungkasnya.

Viewing all 193 articles
Browse latest View live